Oleh: Ferdian Subiyanto, Sarah Zeta Aulia, Dafiq Febriali Sahl
Juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah Sejarah Nasional ODISEA Universitas Negeri Malang 2021 Tingkat SMA/SMK/MA sederajat.
Para nelayan sedang menggiring perahu jukung di Pesisir Pasuruan
(Sumber: Arsip Perpustakaan Kota Pasuruan) |
Laut Nunsatara
telah lama menjadi arena aktivitas bangsa-bangsa asing seperti Tiongkok, India, dan Arab baik dalam bentuk perebutan pengaruh
atau kekuasaan, salah
satunya di Pantai Utara Jawa
(Pantura). Sejak abad ke-9, Pasuruan berperan besar dalam perdagangan
internasional dan gerbang utama bagi pengaruh-pengaruh asing yang sekuat tenaga
berdialektika dengan kearifan lokal sehingga terbentuk tradisi-tradisi bahari
pada masyarakat pesisir hingga saat ini (Leur, 1983; Houben, Maier, dan Molen,
1992).
Secara
genealogis, gerak dialektik sejarah antara pengaruh asing (Hindu-Buddha dan
Islamisasi sejak abad ke-15) dengan kearifan lokal yang mencakup pola hidup,
keyakinan, dan sosio-kultural masyarakat Pesisir Pasuruan membentuk tradisi
bahari di Pesisir Pasuruan yakni Praonan dan Petik Laut yang diwariskan
dengan cara gethok tular sampai kemudian berkembang menjadi tradisi
bahari prestisius semenjak dibentuknya Kecamatan Panggungrejo oleh Pemerintah
Kota Pasuruan pada tahun 2012.
|
Topografi Pelabuhan Pasuruan dan kawasan Pesisir
Pasuruan (Sumber: ANRI, Town Plane No.1297) |
Dalam
kajian historis-antropologis, selain membuktikan ketangguhan dan kema-juan
masyarakat maritim, tradisi Petik Laut dan Praonan juga mencerminkan
identitas nasional bangsa Indonesia yakni gotong royong. Prosesi pra ritual,
ritual, pasca ritual, hingga upaya pelestarian Praonan dan Petik Laut telah
melibatkan solidaritas sosial seluruh elemen masyarakat baik lokal maupun luar
daerah yang memperkuat karakter gotong royong masyarakat (Wachid, 2021).
Perkembangan
Praonan dan Petik Laut mengalami titik kritis pada abad ke-21 dimana
hidup di tengah pusaran disrupsi berupa digitalisasi dan globalisasi (vernetzung)
yang sifatnya ambivalen memungkinkan ekses yakni terkikisnya rantai
tradisi-tradisi hingga hilangnya karakter gotong royong melalui perombakan
tatanan sosial-budaya pada diri masyarakat dan pemuda di Pesisir Pasuruan.
Petik Laut
dan Praonan sebagai legacy dari sejarah maritim Nusantara penting
untuk dikaji dan dilestarikan mengingat tradisi bahari kebanggaan Indonesia
yang pernah berjaya sebelum kedatangan imperialis harus dibangkitkan lagi melalui
regenerasi,
serta pelestarian
tradisi bahari bagi
masyarakat pesisir Pasuruan
sangatlah krusial sebab pada dasarnya tradisi
yang berkembang dalam masyarakat merupakan aset atau modal sosial guna
meningkatkan
kualitas hidup dan kesejahteraan sekaligus
untuk menghadapi pengaruh budaya dari luar.
|
Perahu layar sedang melaut di Pesisir Pasuruan (Sumber: Arsip
Perpustakaan Kota Pasuruan) |
Berdasarkan krusialitas di
atas, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah dan perkembangan Praonan
dan Petik Laut (abad 15-16) sebagai manifestasi karakter gotong royong serta
mengidentifikasi peran arek gisek dalam melestarikan tradisi bahari tersebut
di Pesisir Pasuruan pada tahun 2012-2020.
Pada masa Kesultanan Demak (Abad 15 dan 16), Demak
berperan penting sebagai pos pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, Gujarat)
sekaligus pusat Islamisasi di Jawa, sehingga Demak menjadi tempat berkumpulnya
para wali sanga (wali Sembilan) yang menyebarkan Islam di
daerah-daerah pesisir (Pantura). Pendekatan
kultural-adaptif wali sanga dimana mengislamkan tanpa menghilangkan kearifan
lokal yang sudah terbentuk seperti contoh slametan (tradisi syukuran Masyarakat
Jawa) telah memperjelas bahwa Islamisasi tidak memutuskan relasi-relasi yang
tegas dengan masa lalu di Jawa (sebagaimana kitab Salokantara). Di
sisi lain, Islamisasi tidak lepas dari transformasi sosio-kultural
masyarakat dari alam Hindu-Buddha menuju alam Islam bersama Demak
sebagai poros Islamisasi di Jawa pada abad ke-16 (Prajarto, 2004, h.
130).
Perkembangan Islamisasi oleh wali sanga melalui
jaringan maritim Demak di Pantura berhasil melahirkan berbagai produk
akulturasi antara identitas masyarakat pesisir dengan identitas Islam, salah
satunya adalah “kupatan” yang
diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai simbolisasi riyaya
(Hari Raya Ketupat) pada hari ketujuh Idul Fitri (8 Syawal) yang mana ketupat pada masa Hindu-Buddha masih
digunakan untuk ritual penghormatan Dewi Sri (dewi kekayaan dan kemakmuran),
sesaji, jimat, atau penolak bala’ oleh masyarakat Jawa (Graaf, 1997;
Akbar, 2010). Kulit ketupat yang tersusun rumit mencerminkan masyarakat Jawa yang
kompleks, janur
berfungsi untuk memanifestasikan identitas masyarakat pesisir yang subur akan pohon kelapa, sedangkan warna kuning pada janur dimaknai sebagai
upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau (Timur Tengah) dan merah (Asia Timur).
|
Muara Gembong Pasuruan (1920) (Sumber: Nanyo Toko
Takauchi) |
Sejak Pasuruan menjadi bagian dari Kesultanan
Demak pada masa Sultan Trenggono (1527-1535), Pasuruan menerima pengaruh
Islamisasi yang cukup besar bahkan berperan penting dalam Islamisasi di samping
Gresik dan Tuban. Dengan demikian, kupatan
mengalami dialektika dengan kearifan lokal masyarakat Pesisir Pasuruan. Latar
belakang sosio-kultural masyarakat Pesisir Pasuruan yang bekerja, berkebudayaan,
dan berorientasi maritim mendorong pengemasan kupatan dengan corak kebaharian. Pada saat kupatan, rasa syukur dan bahagia atas nikmat
berpuasa Ramadhan dan Idul Fitri beserta kemakmuran laut yang diberikan oleh Tuhan diekspresikan masyarakat Pesisir
Pasuruan dengan cara menyambut dan
mengajak para keluarga, kerabat, tetangga, dan tamu mereka untuk melaut menggunakan perahu-perahu tradisional yang
telah menjadi sarana transportasi sejak masa prasejarah, ekspresi
riyaya (kebahagiaan) itu kemudian dikenal sebagai tradisi bahari Praonan.
Praonan berasal dari Bahasa Jawa artinya “Naik
Perahu” merupakan tradisi bahari khas Pesisir Pasuruan
sebab dilahirkan dan dikembangkan masyarakat
Pesisir Pasuruan sebagaimana di Kabupaten Pasuruan yakni Pantai Karang Hitam,
Desa Semare, Desa Wates, Desa Kalirejo, Desa Jatirejo, dan Desa Tambak Lekok,
sedangkan di Kota Pasuruan yaitu Pelabuhan Pasuruan dan Tambaan. Uniknya Praonan, masyarakat Pesisir
Pasuruan contohnya di Mandaranrejo, Mayangan, dan Ngemplakrejo menyediakan aneka hidangan ketupat di ruang
tamunya dalam rangka menjamu siapapun yang ingin bertamu di
rumah mereka. Praonan
selain unik juga menjadi
momen bahagia bagi semua kalangan masyarakat Pasuruan secara turun
temurun (Wachid, 2021).
Perkembangan corak perayaan Praonan
dapat dikaitkan dengan kesenian masyarakat pesisir pada zaman Hindu-Buddha.
Pasalnya, pada masa Hindu-Buddha telah dikenal berbagai jenis kapal yang
dijadikan hiasan sebagai betuk kesenian maritim (Burhanuddin dkk, h. 173). Praonan
pada implementasinya juga perwujudan hormat sekaligus bangga terhadap leluhur
atau pendahulu masyarakat pesisir sebab bagi mereka, menangkap ikan dan berlaut
dengan cara, alat, dan teknologi tradisional (jaring, perahu, pancing dan
sebagainya) yang telah digunakan jauh sebelum kedatangan teknologi modern
merupakan bentuk pendekatan dengan alam yang sekian lama mencukupi kebutuhan
hidup nelayan (lihat lampiran VI).
Sekitar awal abad ke-21, Praonan sudah
diselenggarakan setiap tahun oleh masyarakat sebagai tradisi bahari di Pesisir
Pasuruan. Berdirinya Kecamatan Panggungrejo (2012) telah mengintegrasikan dan
mengangkat identitas sosial-budaya masyarakat Pesisir Kota Pasuruan yang
sebelumnya sporadis dan tertinggal. Dengan demikian, Praonan yang dahulunya
bersifat esklusif bagi etnis dan komunitas tertentu mulai diangkat dan
dipromosikan menjadi tradisi bahari inklusif dalam wisata bahari oleh
Pemerintah Kota Pasuruan. Oleh sebab itu, Praonan mulai naik daun
sebagai tradisi bahari prestisius yang dilestarikan oleh seluruh elemen
masyarakat di Pasuruan. Eksistensi Praonan bertahan karena mendatangkan
kemaslahatan baik secara finansial (ekonomi), sosial (solidaritas dan
persatuan), dan religi sebagaimana fungsi dari tradisi untuk masyarakat
(Wachid, 2021; Aziz, 2019).
4.1.2 Praonan
sebagai Manifestasi Karakter Gotong Royong
Masyarakat Pesisir Pasuruan mengenal pepatah
Jawa: “Rumangsa melu anduweni, wajib melu angrungkepi” (merasa memiliki, wajib ikut menjaga).
Dalam kajian etnografi di Pesisir
Pasuruan oleh Fidia (2015), masyarakat Pesisir Pasuruan didominasi oleh
Masyarakat Pendhalungan yang memiliki sosio-kultur berupa solidaritas sosial
yang kuat, sistem kekerabatan yang erat, dan memiliki antusiasme tinggi
terhadap religi (puritan),
sehingga mengandalkan kegiatan nyata berbasis masyarakat (gotong royong) dimana
tokoh masyarakat dapat bekerjasama dengan penduduk, pemerintah, dan komunitas-komunitas untuk
mengurus tradisi bahari Praonan.
Dalam merayakan Praonan, masyarakat Pesisir Pasuruan akan menghias dan melengkapi semua perahu
tradisional yang ada terutama Perahu Layar dan Perahu
Jukung dengan pengaman. Para
partisipan Praonan umumnya berbekal ketupat untuk dimakan bersama (mayoran) saat melaut
sambil menyaksikan hiu-hiu tutul yang biasa bermun-culan di sekitaran 6-7 Km dari Pesisir Pasuruan. Lamanya melaut sekitar 30-60 menit,
dan setelah itu bergantian dengan yang lain, hal itu pun
berlangsung dari pagi sampai sore hari (lihat lampiran VI). Demi meramaikan Praonan diadakan perlombaan seperti memancing ikan, skilot, karapan sapi, menghias
perahu, drumband, pertunjukan musik tradisional, dan tarian daerah Pasuruan yaitu Tari Terbang Bandung. Orkesan (pagelaran
musik), pesta
kembang api, dan pagelaran
tradisional lain menjadi pengiring berakhirnya Praonan selama satu hari penuh itu (Wachid, 2021).
Saat Praonan, masyarakat nelayan cuti;
pemerintah dari RT sampai Kecamatan Panggungrejo bersama memobilisasi massa;
Polisi Masyarakat dan Otoritas Syahbandar (KSOP) membantu penertiban dan
pengamanan; para perempuan (ibu-ibu) juga bergotong royong memasak dan
menyiapkan aneka hidangan utamanya ketupat di ruang tamu mereka; serta
komunitas seniman dan budayan akan ikut mewarnai Praonan ini. Bahkan
berlaku suatu sanksi sosial apabila terdapat Masyarakat Pesisir yang tidak ikut
dalam membantu Praonan ini. Praonan merekatkan hubungan sosial
masyarakat pesisir antara patron (orenga, pengamba’, juru mudi,
tengkulak, dan lainnya) dengan klien (pandhiga dan buruh nelayan) dalam
kerangka egaliter dan solidaritas sosial sebagai masyarakat pesisir. Dengan
berpartisipasi dalam kegiatan ini, artinya telah membantu
pendapatan para nelayan. Mereka senang karena mendapatkan penghasilan tambahan
dan kita dapat menikmati keindahan pemandangan laut (simbiosis mutualisme).
4.1.3 Sejarah dan Perkembangan Tradisi Petik Laut
di Pesisir Pasuruan (1500-2020)
Sejak zaman prasejarah, kemaritiman adalah
aspek yang sangat vital dari perja-lanan sejarah bangsa Indonesia. Sebelum kedatangan bangsa barat, masyarakat pesisir Indonesia telah memiliki jiwa bahari berupa keyakinan dan
pola hidup dimana laut meru-pakan sumber kelangsungan,
pertumbuhan, dan kesejahteraan yang utama bagi kehidu-pan mereka. Dengan
kata lain, masyarakat pesisir percaya bahwa terdapat kekuatan dalam sumber daya
laut yang secara supranatural (an sich) telah memberi kemakmuran sehingga
masyarakat pesisir menghormati kekuatan laut melalui ritual-ritual untuk mensyukuri
kemakmuran laut sekaligus berharap agar laut tetap memberikan kemak-muran di
hari mendatang. Pola kepercayaan itu mengakar menjadi tradisi bahari seperti larung
sesaji, sedekah laut atau populernya yaitu Petik Laut.
Menurut Setiawan (2016), secara
etimologi Petik laut artinya memetik, mengambil, memungut atau
memperoleh hasil laut yang dapat menghidupi para nelayan atau lainnya. Secara terminologis
Petik Laut adalah upacara adat
atau ritual kosmologis sebagai rasa syukur kepada Tuhan, untuk memohon berkah rezeki dan
keselamatan yang dilakukan oleh para nelayan, nama lain Petik Laut adalah sedekah laut atau memberikan persembahan
kepada laut (h. 235). Dalam memahami sejarah tradisi Petik Laut, penting untuk
meneropong dahulu sejarah dan perkembangan tradisi Petik Laut yang lahir pada
masyarakat Pesisir Muncar, Banyuwangi sebelum menuju Pesisir Pasuruan.
Blambangan
(Banyuwangi) merupakan kerajaan bercorak Hindu terakhir yang bertalian dengan kerajaan
Majapahit sebelum ditaklukkan oleh Kesultanan Demak pada 1526-1527 (Graaf,
1952, h. 140-141; Abimanyu, 2017, h. 316). Tidak dapat dipungkiri, pengaruh
Hindu-Buddha telah mengakar dalam konsep sosial budaya di Jawa. Tanda dan legacy
esensial dari kerajaan Hindu-Buddha yang tidak dapat diragukan ialah penghorma-tan
terhadap roh leluhur di Jawa. Berdasarkan kepercayaan kuno, penghormatan tersebut
merupakan keharusan demi memelihara tata kosmis dimana ikatan-ikatan antara dimensi
kehidupan-kematian diperkuat oleh upacara-upacara itu, sampai
periode Islamisasi yang dimulai dari kedatangan masyarakat Madura.
Masyarakat Madura yang mayoritas Islam
dan berprofesi sebagai nelayan atau pelaut telah banyak mendiami Pesisir
Muncar, Banyuwangi dalam kurun waktu yang lama dan terintegrasi dalam
masyarakat lokal Pesisir Muncar. Periode itu seirama dengan Islamisasi oleh Sunan
Giri yang memerintahkan muridnya yakni Sayyid Yusuf Al-Anggawi untuk
menyebarkan Islam di Madura Timur termasuk Blambangan.
Perlu
digaris bawahi, pengaruh Islamisasi sangat kuat sebab para pembawa Islam mampu
menyesuaikan nilai-nilai dan struktur masyarakat lama terhadap nilai-nilai baru
baik di Jawa dan Madura.
Berdasarkan Babad Sumenep, suatu ketika
saat Sayyid Yusuf berdakwah di Muncar, ikan-ikan di Muncar lenyap dan banyak
nelayan yang meninggal saat melaut, oleh sebab itu Sayyid Yusuf menggerakkan
masyarakat pesisir Muncar untuk melakukan sedekah laut (sesaji) salah satunya terdiri
dari kepala kambing (kendit), sebab sesaji (persembahan) adalah cara
penghormatan terhadap roh leluhur termasuk kekuatan laut yang telah lama mengakar.
Hasilnya, bala’ (bencana) yang melanda pesisir Muncar menghilang. Sejak
saat itu diadakan pelarungan sesaji di laut demi menghormati kekuatan laut
khususnya kepada Nyi Roro Kidul oleh masyarakat Pesisir Muncar.
Nyi Roro Kidul merupakan penguasa
laut selatan sekaligus nenek moyang yang dianggap sebagai perwujudan Shang
Hyang Iwak atau dewi laut yang dihormati oleh masyarakat pesisir Muncar dengan
cara mengadaan ritual adat Jawa setiap 15 Suro atau 15 Muharram
yang bernama upacara “Petik Laut”. Berdasarkan hal tersebut, Petik Laut dapat
dikatakan sebagai tradisi bahari hasil dialektika dari Islamisasi (Sayyid
Yusuf), Hindu-Buddha (penghormatan nenek moyang), dan kearifan lokal (Nyi Roro
Kidul) di Pesisir Muncar, Banyuwangi (Setiawan, 2016; Santoso, 1991; Sumarto,
1996).
Petik Laut terus mengalami perkembangan
dalam sejarahnya. Pertama, Petik Laut sudah diselenggarakan oleh nelayan Muncar
sejak tahun 1901 yang dipimpin oleh dukun, ditinjau
dari korelasi erat kearifan lokal masyarakat Pesisir Muncar dengan kepercayaan
kuno yang telah dijelaskan sebelumnya dimana ketika Petik Laut tidak diadakan
maka akan terjadi bala’ sehingga mereka percaya bahwa Petik Laut harus
selalu diselenggarakan (Ibid., 2016).
Kedua, perkembangan Islam awal abad
ke-20 mentransformasikan Petik laut menjadi bagian dari Islam partikultural
yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kearifan lokal di Muncar, Banyuwangi. Keterlibatan
para kiai dan santri mewarnai pelaksanaan Petik Laut di Muncar dengan berbagai
unsur Islam. Hal itu dibuktikan dari peran
para santri dalam kegiatan yasinan (membaca Surat Yasin) dan tahlilan
(membaca tahlil) pada hari pertama dan khataman (pembacaan Al-Quran)
pada hari kedua sebelum pelarungan sesaji (inti Petik Laut) pada hari ketiga. Terdapat
juga sholawatan (membaca shalawat) bersama-sama saat pengiringan sesaji
ke laut menaiki perahu gethek beserta perahu-perahu nelayan lain, sampai
pembacaan doa-doa saat sesaji dilarung ke laut.
Masuknya unsur Islam dalam Petik
Laut merupakan wujud kontemporer dari Petik Laut karena posisinya sebagai
perwujudan rasa syukur masyarakat Pesisir Muncar atas limpahan kemakmuran yang
diberikan Tuhan melalui kekayaan dan kekuatan laut.
Lebih lanjut, tradisi Petik Laut menyebar pesat di pesisir di Jawa Timur dan
Madura dan selanjutnya merupakan telaah genealogi Petik Laut di Pesisir
Pasuruan.
Dalam prespektif historis, masyarakat
Pendhalungan (Jawa-Madura) diperkirakan sudah mendiami Pesisir Pasuruan sejak
berabad-abad sebab Pantura tidak hanya berperan strategis dalam Islamisasi
namun juga perdagangan internasional. Identitas masyarakat Pesisir Pasuruan
yang tidak jauh beda dengan masyarakat Pesisir Muncar tentu berdam-pak pada
kesamaan tradisi baharinya sehingga lahirlah Petik Laut di Pesisir Pasuruan. Petik
laut sudah dilaksanakan sebelum tahun 1970 dan naik daun pada masa Pemerintahan
Walikota Pasuruan H. Hasani S.H. (2010-2015); sebab masyarakat Madura telah
diangkat tradisi dan kebudayaannya menjadi lebih produktif, prestisius, dan
kompetitif dimana sebelumnya dipandang sebelah mata. Perayaan Petik Laut di
Pesisir Pasuruan tidak kalah meriah dan sakral dibanding perayaan petik laut di
daerah pesisir lainnya (Abdul, 2021; Wachid; 2021).
4.1.4 Petik
Laut sebagai Manifestasi Karakter Gotong Royong
Masyarakat Pesisir Pasuruan mengaitkan Petik
Laut dengan kegiatan “bersih desa” yakni solidaritas sosial masyarakat untuk membersihkan
desanya masing-masing. Sebelum Petik Laut, masyarakat pesisir juga khataman
Al-Quran sebagai tradisi slametan di setiap Musholla atau Masjid
masing-masing. Selain itu, dalam rangka merayakan Petik Laut, masyarakat juga
mengadakan bari’an atau mayoran atau makan bersama sebagai wujud
gotong royong masyarakat Pesisir Pasuruan.
Tidak hanya Praonan, Petik
laut juga menyimpan keunikannya tersendiri yakni masyarakat setempat
menyembelih sapi sebagai rangkaian acara slametan desa kemudian kepala sapi tersebut
dilarung di laut sebagai tanda penghormatan terhadap penjaga laut. Tradisi ini
tentu membutuhkan bantuan dari banyak khalayak dalam pelaksanaannya. Masyarakat
pesisir sangat bersimpati terhadap pengembangan tradisi ini. Karang Taruna
sebagai organisasi muda juga turut bergerak dalam pelestarian Tradisi Petik
Laut. Banyak ide dan rencana yang sudah dilakukan dan akan dilakukan oleh
mereka. Misalnya dengan mengikuti lomba content creator melalui sosial media sebagai
wadah pelestarian budaya setempat; maupun melakukan karnaval Petik Laut agar Petik Laut di Pesisir Pasuruan
semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat Pasuruan dan juga luar Pasuruan. Tidak
dilakukan seorang diri, Karang Taruna juga melakukan banyak kerjasama dengan
komunitas pemuda lainnya di Pasuruan untuk meneruskan tradisi ini. Gotong
royong sangat tercermin dari tindakan komunitas muda yang ada di pesisir Kota
Pasuruan.
4.2 Peran Arek Gisek Melestarikan
Tradisi Bahari di Pesisir Pasuruan (2012-2020)
Mayoritas
tradisi masa sekarang termasuk Praonan dan Petik Laut telah melewati
batas waktu dengan mengalami penyesuaian dengan perkembangan-perkembangan baru.
Maknanya, bahwa suatu tradisi telah direvitalisasi dan berimprovisasi dari apa
yang disebut kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi untuk memperkokoh
identitas suatu kelompok sosial dan bertahan sebagai modern dan prestisius sekalipun
tidak lagi otentik sebagaimana tradisi itu hidup dan dimaknai di masa lalu.
Dalam rangka melindungi Praonan dan Petik
laut dari disrupsi
zaman dan penetrasi budaya-budaya
asing diperlukan pembangunan mindset sebagai salah satu
langkah. Oleh sebab itu, dilakukan identifikasi pemahaman arek gisek
terhadap tradisi Praonan sebagai tradisi bahari tertua di Pesisir
Pasuruan melalui angket online “Praonanku” yang diperoleh
fakta antara lain: (1) tingginya
pengetahuan arek gisek
terhadap eksistensi Praonan, (2) rendahnya angka partisipasi
arek
gisek terhadap
tradisi lokal Praonan, dan (3) tingginya keinginan arek gisek untuk melestarikan tradisi lokal Praonan (lihat lampiran
II).
Pertama, 83,5% responden menyatakan
mengetahui tradisi lokal Praonan, 16,5% responden tidak mengetahuinya, 80%
responden menyatakan mengetahui bahwa Praonan merupakan tradisi lokal
khas Pesisir Pasuruan. Data tersebut telah membuktikan bahwa arek gisek cukup
memahami eksistensi tradisi lokal Praonan yang khas dari Pesisir
Pasuruan. Artinya, terdapat kajian maritim atau pengalaman yang dimiliki oleh arek
gisek hingga sampai pada pemahaman-pemahaman tersebut.
Kedua, 34,7% responden menyatakan pernah
berpartisipasi langsung, 31,8% responden tidak pernah berpartisipasi, dan 33,5%
responden hanya mengetahui. Rendahnya partisipasi langsung dari arek gisek
dalam Praonan adalah realita bahwa Praonan masih dianggap
monoton, membosankan, atau kurang kreativitas bagi arek gisek. Meskipun
demikian, pada poin ketiga 65,3% responden
menyatakan bahwa pelestarian Praonan “sangat perlu” dilakukan dan 34,1% responden yang menyatakan “perlu”
dilakukan. Lebih dari itu, arek gisek juga berperan dalam memberikan
sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif ditinjau dari jawaban atas
pertanyaan: Sebagai generasi muda, bagaimana upaya anda melestarikan Praonan?.
Dalam melestarikan Praonan
dan Petik Laut melalui kajian maritim, pranata sosial berfungsi dalam mengorganisir
kepentingan dan kegiatan masyarakat; serta
berfungsi untuk pembangunan karakter gotong royong. Di Pesisir Pasuruan
terdapat pranata sosial yang berbasis arek gisek diantaranya: Pramuka,
Karang Taruna, dan Forum Anak. Karang Taruna Pantura Bangkit sebagai
salah satu karang taruna di Pasuruan (tepatnya Daerah Ngemplakrejo) turut aktif membantu
kelancaran tradisi ini bekerja sama dengan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).
Karang Taruna Pantura Bangkit memiliki program kerja jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka
pendek, mereka membantu pelaksanaan bakti sosial, bagi-bagi sembako, dan
lain-lain. Sedangkan jangka panjangnya, Karang Taruna memiliki “Rumah Kreatif”,
dimana menjadi wadah untuk melatih skill anak-anak pesisir yang berfokus
pada kerajinan tangan di samping kegiatan sekolah online mereka. Upaya Karang
Taruna Pantura Bangkit dalam memperkenalkan budaya Pesisir Pasuruan dapat dilihat dari
keikutsertaan mereka pada lomba-lomba dan berbagai kegiatan. Mereka
memperkenalkan desa mereka dan kearifan lokal Pasuruan (Wachid, 2021; Abdul, 2021; Sholeh, 2021).
Dalam aspek sosial, arek gisek secara
implisit memperkenalkan tradisi bahari ini kepada masyarakat melalui
media-media yang mereka pegang; tujuannya tiada lain adalah memperkenalkan
kekayaan budaya bahari mereka dan sekaligus mengonfigurasi-kan eksistensi
komunitas arek gisek di mata masyarakat. Arek gisek membantu para
nelayan untuk membuat galangan kapal, melaut atau mencari ikan, dan termasuk
menyukseskan tradisi bahari ini. Arek gisek berperan sebagai paguyuban
bagi tradisi bahari dan membuktikan bahwa Praonan dan Petik Laut bukanlah
milik etnis Madura ataupun Jawa, namun milik bersama masyarakat Pasuruan. Dalam
aspek ekonomi mereka juga tidak lepas tangan dari geliat ekonomi masyarakat
pesisir baik yang terjun secara langsung maupun menjadi buffer
(penyangga) (Wachid, 2021, Abdul, 2021)
Pasuruan yang dikenal sebagai daerah santri
juga tidak lepas dari peran santri terutama santri gisek dalam
melestarikan tradisi Praonan dan Petik Laut. Santri gisek
mengambil bagian dalam ritual religi dalam tradisi bahari seperti pengajian,
slametan, yasinan, dan banyak lagi. Tidaklah mengherankan, santri atau
pemuda pesantren menurut Lombard (2005, h. 87) adalah pewaris dan penerus
masyarakat pesisir yang telah menciptakan glory of the past
pelabuhan-pelabuhan Pesisir dahulu. Fakta tersebut mampu membuktikan besarnya
peran arek gisek yang berlatar belakang santri dalam melestarikan tradasi
bahari di Pesisir Pasuruan.
Pada 5-6 Desember
2020, Dewan Kerja Ranting (DKR) Panggungrejo menga-dakan program “Kemah Bakti
2020” bertema “Pramuka sebagai Penggerak Literasi” di Kelurahan Tambaan,
Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan. Program ini fokus dalam revitalisasi
aset-aset Kelurahan Tambaan sebagai salah satu tempat wisata bahari (Praonan
dan Petik Laut); serta pengabdian kepada masyarakat dengan menggerakkan arek
gisek dalam tubuh Pramuka Panggungrejo. Karang Taruna Bina Hang Tua, dan
Karang Taruna Bangkit, tepatnya di Kelurahan Tambaan yang didirikan sebagai
pranata sosial kepemudaan Pemerintah Kota Pasuruan (Sholeh, 2021).
Pada perayaan
Praonan dan Petik Laut, tidak lepas pula arek gisek yang bergerak di
bidang seni dan budaya. Sanggar Tari Dharma Budaya sebagai komunitas pemuda
yang aktif di bidang tari menciptakan produk tari bagi tradisi bahari Petik Laut
bernama Tari Larung Segoro yang mereka tampilkan pada saat perayaan Petik Laut.
Tarian ini memiliki makna yang tersirat tentang rasa syukur kepada Tuhan yang
melimpahkan kesejahteraan dari sektor maritim untuk manusia. Selain itu ada
yang menampilkan Tari Terbang Bandung dan Tari Ngeremo Bollet Gagrak Suropati khas Jawa Timur khususnya Pasuruan dimana mengajarkan
kepada pemuda betapa kayanya kemaritiman Indonesia baik tangible maupun intangible
asset.
Kesimpulan
Petik laut dan Praonan merupakan buah dari
pergumulan pengaruh dalam sejarah kemaritiman antara Islamisasi (Kesultanan
Demak), Hindu-Buddha (Kerajaan Majapahit), dengan kearifan lokal masyarakat Pesisir
Jawa yang masuk ke Pesisir Pasuruan. Tradisi bahari tersebut terus mengalami
improvisasi dengan kondisi antropologi masyarakat pesisir masing-masing dan
wajah perayaannya yang terus berkembang dengan tetap mempertahankan unsur
tradisionalistis-religius. Nilai praksis dalam tubuh tradisi Praonan dan
Petik Laut merupakan perwujudan karakter kegotongroyongan sebagai identitas
nasional bangsa Indonesia.
Tradisi kemaritiman Praonan dan Petik Laut merefleksikan
identitas Bangsa Indonesia yakni gotong royong. Implementasi dari nilai gotong
royong itu sendiri dapat terealisasi dari segi aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dari awal persiapan acara hingga penutup. Oleh sebab itu,
sebagai masyarakat lokal khususnya pemuda seperi arek gisek sudah
selayaknya untuk melestarikan tradisi Praonan dan Petik Laut yang memuat
nilai bangsa kita Indonesia.
Peran arek gisek sebagai generasi penerus di
sekitar wilayah Pesisir Pasuruan sangat krusial untuk menjaga kelestarian
tradisi Petik Laut dan Praonan agar tidak terdiskontruksi globalisasi di
masa depan; mengingat bahwa tradisi bahari ini merupakan tradisi khas
masyarakat Pesisir Pasuruan. Melalui upaya pemerintah dan masyarakat sekitar
terutama arek gisek untuk bergotong royong dalam tradisi bahari Petik
Laut dan Praonan, maka dapat menjadi langkah utama dalam penjagaan
eksistensi tradisi bahari ini. Arek gisek yang merupakan kunci dan
penentu nasib tradisi Praonan dan Petik Laut di masa mendatang.
Referensi
Abdul. (2021).
“Eksistensi Tradisi Bahari Praonan Khas Pesisir Pasuruan”. Hasil wawancara pribadi: 2 Juli 2021, Kantor Kelurahan
Mandaranrejo, Kota Pasuruan.
Abimanyu, Soedjipto. (2017). Babad Tanah
Jawi. Yogyakarta: Laksana.
Akbar,
Jay. (2010). Mengunyah Sejarah Ketupat. Diperoleh dari historia.id: https://historia.id/politik/articles/mengunyah-sejarah-ketupat-Pdag6/page/1.
Aziz, Abdul. (2019). Tradisi Praonan di Pasuruan
Jadi Magnet Ribuan Warga. Diperoleh dari faktualnews: https://faktualnews.co/2019/06/12/tradisi-praonan-di-pasuruan-jadi-magnet-ribuan-warga/144289/.
Alimuddin, Muhammad
Ridwan.
(2005). Orang
mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar mengarung gelombang perubahan jaman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Adikarya.
Bowo
Herdiyanto, Soebiarto, dan Duryatin Toyyibah. (2018). Citra Daerah Jawa
Timur dalam Arsip Pasuruan. Surabaya: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan
Provinsi Jawa Timur.
Burhanuddin, Safri dkk. (2003). Sejarah Maritim Indonesia:
Menelusuri Jiwa bahari Bangsa Indonesia dalam proses integrasi bangsa. Jakarta: Badan Riset Perikanan
dan Kelautan. Bagian SARI.
Dewantara, Agustinius W. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam
Kacamata Soekarno). Yogyakarta: Kanisius.
Drake, C. (1989). National
Integration in Indonesia: Patterns and Policies. Honolulu: University of Hawaii
Press.
Faber,
G.H. von. (1931). Oud Soerabaia: De Geschiedenis Van Indie’s Eerste Koopstad
Van De Oudste Tijden Tot De Insteling Van De Gemeenteraad. Surabaya:
Gemeente Surabaya.
Fajrie,
Mahfudlah. (2017). Gaya Komunikasi Masyarakat Pesisir Wedung Jawa Tengah. Inject:
Interdisciplinary Journal of Communication 2(1), 53-76.
Fidia, Nur. 2015. Keberadaan Madrasah dalam
Masyarakat Madura Pendhalungan di Daerah Pesisir Pantai Kecamatan Lekok
Kabupaten Pasuruan (Studi Etnografi) (Skripsi, Universitas Negeri Malang,
Malang). Diperoleh dari http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/Geografi/article/view/39884
Geertz, Clifford. (1981). Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Giddens,
Anthony. (2001). Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan
Kita. Jakarta: Gramedia.
Graaf,
H. J. de. (1997). Muslim Cina Indonesia Sejarah Abad Ke-15 dan 16: Orang
Cina di Indonesia (Alfajri Ismail, terj). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya..
Gresik.info.
(n.d.). Asal Mula Nama Kota Gresik yang Penuh Misteri. Diperoleh dari
Gresik.info: https://www.gresik.info/asal-mula-nama-kota-gresik-yang-penuh-misteri.html.
Handayani,
Sri Ana. (2018). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jember: UPT Percetakaan
dan Penerbitan Universitas Negeri Jember.
Houben, V. J. H., M.
J. Maier, dan van der Molen. (1992). Looking in Odd
Mirrors: The Java Sea. Leiden: Leiden University.
Ibrahim
al-Geyoushi, Muhammad. (1971). Al-Tirmi’dhis: Theory of Saint and Sainthood. The
Islamic Quarterly 1(1), 17-61.
Jonge,
Huub De. (1989). Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan ekonomi,
dan Islam, Suatu Studi Antroplogi Ekonomi. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta. Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu
Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Kusnadi.
2001. Masyarakat Tapal Kuda: Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik. Jurnal
Ilmu-Ilmu Humaniora 2(2), 1-11.
Leur, J. C. Van. (1983). Indonesian Trade and
Society: Essay in Asian Social and Economic History. Dordrecht: Foris Publication.
Lombard,
Denys. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Martin,
Risnowati. (2011). Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru,
Malang: Sebuah Telaah Budaya Bahari. Jakarta: FIPB UI.
Milles,
Matthew B., A.
Huberman, dan Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif (Tjetjep Rohendi
Rohidi, terj),
Jakarta: UI-Press.
Pelras, Christian. (2006). Manusia Bugis. Jakarta: École Française d’Éxtrême-Orient.
Peraturan
Daerah Kota Pasuruan Nomor 15 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan Daerah
Nomor 13 tahun 2012 Tentang pembentukan Kecamatan Kandang Sapi. 30 Juli
2012. Lembaran Daerah Kota Pasuruan Tahun 2012 Nomor 19.
Raffles,
Thomas Stamford B. (1830). The History of Java (Vol. 1). London: John
Murray.
Roder, Jozef. (1959). The rockpaintings of the Mac Cluer Bay (Western New Guinea). The
Antiquity and Survival 1(5),
387-400.
Penulisan
Sejarah Indonesia. (2008). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta:
Balai Pustaka.
Pigeaud,
Th. (1938). Javaanse
volksvertoningen: bijdrage tot de beschriving van land en volk. Batavia:
Volkslectuur.
Olivier Johannes Raap. (2015). Kota di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: KPG.
Rahardjo,
Supratikno (eds). (2018). Warisan Budaya Maritim Nusantara. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Santoso, Budi. (1991). Kehidupan Masyarakat
Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, Surabaya: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Timur.
Setiawan,
Eko. (2016). Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi. Universum
10(2), 229-237.
Sholeh,
Mifthachul. (2021). Asek Gisek melestarikan Tradisi Bahari Pasuruan. Hasil
wawancara pribadi: 21 Agustus 2021, Kantor Kelurahan Ngemplakrejo, Kota
Pasuruan
Sjamsudduha
dkk. (1998). Sejarah Sunan Drajat dalam Jaringan Masuknya Islam di
Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu
Sukarno. (1984). Pancasila
Sebagai Dasar Negara. Jakarta: Inti Idayu Press.
Sulaiman,
A. Sadirk. (2006). Sangkolan: Legenda ban Sajara Madhura. Pamekasan:
Pemerintah Kabupaten Pamekasan.
Sumarto, Hendro. (1996). Upacara Adat Larung Sesaji:
Studi Kasus di Komunitas Nelayan Puger Jember. Jember: Prisma.
Untara, S., A. Widyawan., A. J. A. Susanti., dan
D. Hendrawan (eds). (2016). “Membentuk Identitas
Indonesia dalam Arus Globalisasi”. Prosiding Simposium Nasional V. Surabaya: Universitas
Katolik Surabaya.
Utomo, Bambang B. (2016).
Warisan Bahari Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Vlekke,
Bernard H. M. (2008). Nusantara: A History of Indonesia (Samsudin
Berlian, terj). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Wachid.
(2021). “Eksistensi Tradisi Bahari Petik
Laut Khas Pesisir Pasuruan”. Hasil wawancara pribadi: 20 Agustus 2021, Kantor Kelurahan Ngemplakrejo, Kota
Pasuruan.
Wasino dan
Endah Sri Hartatik. (2018). Metode Penelitian Sejarah: Dari Riset hingga
Penulisan. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.
Islamisasi melalui saluran
perdagangan (Demak) dipercepat oleh situasi politik beberapa kerajaan dimana
adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kerajaan yang mengalami
kekacauan (Majapahit), lihat: Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. (2008).
Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. h. 169. Wali
sanga sebagai golongan pembawa Islam di pesisir, lihat: Muhammad Ibrahim
al-Geyoushi. (1971). Al-Tirmi’dhis: Theory of Saint and Sainthood. The
Islamic Quarterly 1(1), 17-61.
Lihat: Bernard H. M. Vlekke.
(2008). Nusantara: A History of Indonesia (Samsudin Berlian, terj).
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. h. 96-97. Lihat pula: Th. Pigeaud.
(1938). Javaanse volksvertoningen: bijdrage tot de beschriving van
land en volk. Batavia:
Volkslectuur.
Pemaknaan ketupat menurut H.
J. de Graaf dikutip dari Jay Akbar. (2010). Mengunyah Sejarah Ketupat. Diperoleh
dari historia.id: https://histo-ria.id/politik/articles/mengunyah-sejarah-ketupat-Pdag6/page/1.
Tinjauan aktivitas bahari
masyarakat pesisir dalam Mahfudlah Fajrie. (2017). Gaya Komunikasi Masya-rakat
Pesisir Wedung Jawa Tengah. Inject: Interdisciplinary Journal of Communication 2(1), 53-76.
Lihat: C. Drake.
(1989). National Integration in Indonesia: Patterns and Policies.
Honolulu: University of Hawaii Press. h. 6., Clifford Geertz. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Jaya. h. 42., dan Risnowati
Martin. (2011). Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru,
Malang: Sebuah Telaah Budaya Bahari. Jakarta: FIPB UI. h. 12.
Eko Setiawan. (2016).
Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi. Universum
10(2), 229-237. Diperkuat dalam Supratikno Rahardjo. Op.cit. h. 249.
A. Sadirk Sulaiman. (2006). Sangkolan:
Legenda ban Sajara Madhura. Pamekasan: Pemerintah Kabu-paten Pamekasan. h.
67. Lihat juga: Huub De Jonge. (1989). Madura dalam Empat Zaman; Pedagang,
Perkembangan ekonomi, dan Islam, Suatu Studi Antroplogi Ekonomi. Jakarta:
Gramedia. h. 40.
Hendro Sumarto. (1996). Upacara Adat Larung Sesaji: Studi Kasus di
Komunitas Nelayan Puger Jember. Jember: Prisma. h. 11.
Petik laut yang awalnya
terpengaruh kuat oleh kepercayaan kuno, anismisme, dan dinamisme mengalami
beberapa transformasi menjadi tradisi bahari yang bercorak Islam Partikultural
(Islam yang menyesuaikan dengan kearifan lokal) lihat Budi Santoso. (1991). Kehidupan Masyarakat Nelayan Muncar Kabupaten
Banyuwangi Jawa Timur, Surabaya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Timur. h. 57.
Lihat: Supratikno Rahardjo
(eds). (2018). Warisan Budaya Maritim Nusantara. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. h. 321.
Gejala disruptif ditinjau dari Simon Untara, A.
Widyawan., A. J. A. Susanti., dan D. Hendrawan (eds). (2016). “Membentuk Identitas
Indonesia dalam Arus Globalisasi”. Prosiding Simposium Nasional V. Surabaya: Fakultas Filsafat Widya Mandala Universitas Katolik Surabaya. h. 36.
Disimpulkan dari Bambang Budi Utomo. (2016). Warisan Bahari Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Supratikno Rahardjo (eds).
Op.cit. h. 323.