Translate

Jumat, 20 Mei 2022

Sejumlah Anggota DPR RI, DPRD, dan Kepala Daerah Memborong Buku Colliding Stars, Novel Fenomenal Anak Indonesia


Diterimanya Novel Colliding Stars oleh Utut Adianto (Anggota DPR RI 2019-2024 Fraksi PDIP)

Diterimanya Novel Colliding Stars oleh Tommy Kurniawan (Anggota DPR RI 2019-2024 Fraksi PKB)

Dunia bukan hanya sekumpulan materi di alam semesta; dunia juga bukan hanya milyaran manusia yang hidup di dalamnya; dunia juga tentang sastra yang berkeliaran di seluruh udara yang dihirup alam. Sastra yang kini populer selain puisi adalah novel. Wajar jika kita melihat novel-novel karya penulis besar itu bertengger di pasaran yang sukses, tapi pernahkah anda terpikir tentang novel karya 2 anak bangsa, Dafiq Febriali Sahl dan Nareswari Ayu Prabowo yang umurnya masih sangat muda bisa diapresiasi langsung setelah terbit oleh pejabat-pejabat tingkat pusat?.

Tentu bagi penulis pemuda itu adalah hal yang mustahil. Tapi novel yang terbit bulan Desember 2021 ini berhasil menembus kemustahilan itu. Penulis kelahiran Kota Pasuruan dan Kabupaten Bogor itu berani mengunjungi Anggota DPR RI Fraksi PDIP sekaligus master catur Indonesia, Utut Adianto, danTommy Kurniawan selaku Anggota DPR RI Fraksi PKB sekaligus artis Indonesia untuk mempromosikan buku ini pada kesempatan audiensi Parlemen Remaja 14-17 Desember 2021 di Gedung DPR-MPR.

Kedua penulis tersebut dengan tegas menerangkan apa isi dari novel karya mereka kepada dua putra bangsa itu. Respon dari Pak Tommy dan Pak Utut adalah apresiatif sebab mereka terpukai dengan anak SMA yang sudah menerbitkan buku. Mereka memberikan komentar positif dan dukungan semangat untuk berkarya. Tidak luput mereka berfoto dan menandatangani buku tersebut.



Diterimanya novel Colliding Stars oleh Pusat Data dan Informasi KemendikbudRistek

Hal unik lainnya dari novel ini adalah penulisannya yang hanya 3 bulan dan tanpa bertemu, alias ditulis secara Daring mengingat jarak kedua penulis yang berjauhan dan Pandemi Covid-19. Jarak tak memisahkan pikiran besar mereka, berbekal alat komunikasi dan Google Document keduanya berhasil menyelesaikan novel setebal 250 halaman itu.

Secara sederhana, novel yang diberi pengantar oleh pembina sastrawan Bogor, Rd. Ace Sumanta itu bercerita tentang kisah Romo dan Joie yang merupakan representasi dari perbedaan yang diadopsi dari dunia nyata. Romo mewakili paham patriarkisme, fasisme, sosialisme, dan konservatisme; sedangkan Joie mewakili feminisme, liberalisme, kapitalisme, dan moderniasi. Tidak hanya itu, kehidupan Romo yang sangat miskin jauh beda dengan Joie yang kaya raya.

Dialektika, ialah nyawa dari novel tersebut. Pertengkaran demi pertengkaran, peristiwa demi peristiwa mendekatkan kedua tokoh tersebut. Awalnya Joie dan Romo sebagai sosok yang egois selalu mempertahankan cara-cara mereka bekerja, berpikir, dan bersosial, namun semua itu runtuh ketika cinta hadir dalam kehidupan mereka.

Diterimanya Novel Colliding Stars oleh Adi Wibowo, S.T.P., M.Si. selaku Wakil Walikota Pasuruan

Novel Colliding Stars diterima ketua DPRD Kota Pasuruan, H. Ismail Marzuki Hasan, S.E.


Di tingkat Kota Pasuruan, Dafiq berhasil meyakinkan ketua DPRD Kota Pasuruan (2014-2024), H. Ismail Marzuki Hasan, S.E untuk memborong novel ini sejumlah 35 biji untuk seluruh anggota Dewan DPRD Kota Pasuruan. Tidak hanya itu, Wakil Walikota Pasuruan yakni Adi Wibowo, S.T.P., M.Si. juga turut bahagia atas terbitnya buku ini. Selain membeli dan mempromosikannya lewat media sosial mereka, kedua pejabat tinggi Kota Pasuruan itu memberikan dana untuk Dafiq berangkat ke Jakarta pada 14-17 Desember 2021.

Lambat laun, novel ini akan terus digemari oleh akademisi, pejabat, guru, anak muda, dan aktivis literasi di Indonesia. Meskipun angka penjualan belum mencapai ribuan namun pujian dan komentar positif datang silih berganti dari  para pembaca. Judul yang menarik "Colliding Stars" atau bintang yang bertabrakan mengandung arti bahwa perbedaan yang disatukan melalui dealektika akan menghasilkan satu entitas yang lebih besar dan kokoh sebagaimana 2 bintang (Joie dan Romo) yang menyatukan perbedaan mereka membuat mereka lebih kuat dan bersinar.

Pada intinya, novel ini menceritakan bahwa perbedaan bukanlah masalah. Bahwa ada alasan yang sangat kuat untuk menyatukan perbedaan itu, bukan menghilangkan, mempengaruhi, atau melawan, melainkan mengharmonisasi. Novel ini menyadarkan bahwa keberagaman adalah hakikat kehidupan dan sama sekali bukan alasan untuk terpecah belah. Perbedaan adalah penyatu dan penyempurna. Secara khusus, novel ini membuktikan bahwa di atas perbedaan masih ada cinta yang mengikat perbedaan sebagai bunga rampai kemanusiaan.

Minat membaca? Klik link di bawah ini!

Mau Esaimu Kritis dan Keren? Ini Tipsnya!

 Oleh: Dafiq Febriali Sahl


Tanpa anda sadari, menulis esai adalah media mengasah kritisisme pemikir-pemikir hebat Yunani hingga filsuf-filsuf post-modern; esai juga merupakan media mengangkat isu-isu menuju permukaan. Jadi, pendefenisian esai sebagai tulisan singkat, permainan bahasa, atau persyaratan kompetisi adalah pendangkalan. Meskipun kata “keren” bukan parameter kesuksesan esai, tapi kini hal itu dibutuhkan di samping substansinya yang kritis. Tanpa panjang lebar, bagaimana membuat esai yang keren dan kritis? Ini dia!.

       Pahami Pohon Isu

Setiap esai pasti merujuk pada satu isu yang diangkat dalam tema dan tiap isu pasti memiliki dasar-dasar permasalahan. Pahami dulu hal-hal dasar dari isu tersebut lalu kumpulkan hal yang lebih terperinci selanjutnya. Isu lingkungan misalnya, pelajari dahulu ilmu dasar geografi, ekologi, biologi, dan dasar teori-pengetahuan lainnya yang berkaitan, kemudian belajar definisi istilah-istilah dalam isu lingkungan, pendapat para ahli, prespektif, apa yang compatible dengan zaman sekarang, atau apa yang trending. Ingat! Jangan terbalik yaitu mempelajari hal-hal spesifik dulu sebelum dasarnya!. Ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan bertahap, tanpa pondasi yang kuat maka atap setinggi apapun akan roboh; tanpa akar, daun pun mati.

Dikejar target waktu? Tenang. Bacalah jurnal-jurnal dan buku dan segera temukan ide intinya. Misalnya, isu politik praktis pada Pemilu 2024, temukan apa itu kepentingan, kekuasaan, kondisi politik 1 dekade ini, dan sejenisnya melalui internet, jurnal, atau buku. Temukan kata kunci dari isu untuk bisa meriset dan memahami akar permasalahan dan dasar pengetahuan tentang isu. Reduksilah informasi yang kurang penting dan terlalu melebar, fokuslah pada satu pokok bahasan di esaimu.

Kadangkala terjadi kekeliruan seperti pendahuluan membahas masalah dari sisi ekonomi, waktu kesimpulannya menjabarkan kebijakan politik, itu kesalahan yang fatal. Terstruktur bukan hanya struktur tulisan, tapi juga struktur bahasa dan paragraf. Jangan lupa, pada bagian pendahuluan gunakan paragraf induktif supaya ada banyak instrumen yang bisa dijabarkan baik. Meskipun demikian, pastikan generalisasi itu tidak melebar kemana-mana. Pada bagian pembahasan atau permasalahan (bila perlu), fokuslah membahas permasalahan dengan struktur yang benar dan konsisten.

Jangan terbalik! Temukan rumusan permasalahan dahulu sebelum menentukan judul!.

Jika anda menentukan judul terlebih dulu sebelum tau apa pokok permasalahannya maka anda tidak akan mengerti isunya dengan baik juga solusi yang ingin anda berikan terhadap isu yang diangkat. Temukan dulu permasalahan dari isu, lalu bagaimana sudut pandang anda terhadap masalah tersebut. Misal isu pangan, tentang krisis bahan makanan pokok di pasaran, anda bisa mengambil sudut pandang ekonomi seperti inflasi; bisa dari politik yakni kebijakan ekspor-impor pangan; bisa dari pertanian misal kegagalan pembangunan proyek food estate. Pastikan anda menguasai sudut pandang yang anda ambil, dan itu jangan melenceng dari tema besar atau subtema bila esai itu untuk perlombaan.

Bagaimana cara menemukan masalah dalam satu isu?. Selain membaca tapi juga mengobservasi langsung, lalu renungkanlah!. Misal isu pendidikan nasional, jangan hanya duduk membaca buku-buku tentang pendidikan tapi kunjungilah sekolah-sekolah di sekitar anda dan rasakan apa yang terjadi di sana. Bisa jadi anda menemukan adanya ketimpangan ekonomi pelajar, keterbatasan media belajar, ketidakefektifan pola mengajar, atau yang lainnya. Jika itu anda lakukan maka bisa jadi permasalahan yang anda angkat juga masalah yang sedang juri hadapi.

Rumusan masalah tidak boleh ditulis di bagian kesimpulan; sudut pandang (subjektifitas) terhadap masalah akan menjadi ruh esai; sudut pandang itu juga yang akan menentukan solusi yang diberikan. Jika ada yang bilang bahwa esai itu harus objektif, itu benar; tapi objektifitas juga ditentukan oleh subjektifitas. Objektifitas dan subjektifitas harus seimbang; terlalu objektif maka esai anda akan mirip dengan makalah atau laporan kerja; terlalu subjektif akan menjadikan esai anda seperti karya tafsir. Perkuatlah pemahaman anda tentang masalah sebagai objek dan sudut pandang sebagai subjek, lalu kolaborasikan!.

Setelah permasalahan ditemukan, susut pandang telah ditentukan, dan judul telah tertulis maka jabarkan dengan baik permasalahan itu: Fokus, terstruktur, dan sesuai pedoman penulisan serta bahasa. Fokus artinya, sudut pandang untuk melihat permasalahan harus digunakan secara konsisten dari pendahuluan sampai kesimpulan. 

Ingat! Fungsi judul adalah sebagai jalan bagi esaimu, jadi judul akan jadi penentu dan pedoman bagi seluruh tubuh esai, juga untuk menghindari esaimu terlalu abstraktif. Tapi, menentukan judul di akhir juga baik karena judul akan menjadi kristalisasi dari seluruh isi esai. Terpenting, jangan menulis judul sebelum menemukan permasalahan! Sebagaimana esaimu menjadi solusi atas suatu masalah (tidak mungkin membuat obat tanpa mengerti penyakitnya).

Gunakan kata kebermanfaat di Judul!

Judul yang baik adalah judul yang bisa dijadikan kalimat tanya, misal judulnya "Pemuda Mengatasi Problematika Siaran di Indonesia". Paling tidak, kata tanya "bagaimana" bisa disematkan di judul tersebut menjadi "Bagiamana Pemuda Mengatasi Problematika Siaran di Indonesia". Ini adalah opsional, tetapi beberapa pakar penulis telah menvalidasi cara ini; jika judul tidak bisa dijadikan kalimat tanya, bukan berarti judul itu tidak baik.

Selain itu, khusus esai inovasi, pastikan judul anda langsung menjelaskan tentang solusi dari permasalahan, jadi jangan hanya merepresentasikan masalah. Seperti contoh, "Banjir Jakarta yang Tak Kunjung Selesai dari Awal Abad ke-20", dirubah menjadi "Gubernur Anies Baswedan akan Menutup Sejarah Bencana Banjir di Jakarta dengan Normalisasi dan Naturalisasinya". Kenapa demikian? Karena judul yang menarik orang adalah judul yang berisi kalimat solutif, sebab orang membaca esai dengan harapan menemukan solusi bukan hanya memahami masalah.

Jika esai yang anda tulis berjenis esai observasi, maka berilah hasil penelitian yang bisa menggerakkan pembaca untuk menemukan solusinya sendiri. Misalnya ketika anda menulis permasalahan maka carilah yang dekat dengan pembaca yang anda tuju. Jika esai anda untuk masyarakat biasa, lalu anda membahas tentang angka pengangguran, maka jangan hanya bahas pengangguran makro atau statistik, tapi bahaslah hal-hal yang sering dihadapi oleh masyarakat yang kehilangan atau tidak punya pekerjaan. Hasil observasi semacam itu akan menyentuh pembaca terlebih ditulis di judul, contohnya "Pengangguran Semakin Parah, Saatnya Masyarakat Memperjuangkan Pekerjaan Alternatif".

Judul harus proporsional dan efektif. Judul esai yang baik tidak lebih dari 15 kata. Maksimalkan jumlah itu untuk pemadatan makna pada judul. Pastikan kalimat judul itu kalimat efektif.

Gunakan awalan dengan Quotes atau istilah menarik.

Apa yang pembaca haus untuk mengetahui isi esai anda?, ialah ketertarikan pada kalimat pertama. Jika kalimat di awal paragraf pendahuluanmu sudah membosankan atau langsung menuju inti bahasan, tidak heran jika pembaca hilang rasa ketertarikannya. Anda bisa menambah quotes tokoh terkenal, adagium, atau pepatah yang selaras dengan topik pembahasan. Pastikan itu di bagian paling awal bahkan kalau bisa sebelum pendahuluan (setelah judul, identitas, lalu beri kata pemanis). Terlebih jika kalimat itu singkat (maksimal 4 kalimat) dan ditulis miring di tengah seperti sebuah kutipan maka akan memberikan kesan sensasional pada pembaca. Ingat! Kalimat pemanis ini harus sesuai topik (isu) atau minimal sesuai tema, jika antara kata pemanis dan judul saja sudah berbeda topik maka pembaca tidak akan tertarik, kata-kata pemanis ini bisa menggairahkan pembaca.

Solusi yang diajukan setidaknya bisa dilakukan oleh penulisnya atau dekat dengan pembaca.

Mengulas esai tentang carut-marut birokrasi bukan hanya mengkritisi regulasi dan menawarkan solusi kepada pemerintah, tapi juga autokritik bagi penulis sendiri. Misal yang dibahas adalah disrupsi budaya nasional oleh globalisasi maka jangan menulis solusi tentang bagaimana elit dunia harus bertindak atau bagaimana pemerintah nasional dengan politik bebas-aktifnya, tapi tulislah solusi di esai dengan "Apa yang bisa kamu lakukan sesuai peran dan statusmu"; jika anda pelajar maka beri solusi yang bisa dilakukan pelajar misal kalimat persuasi untuk memperkenalkan kebudayaan daerah di platform digital; tawarkan inovasi yang memungkinkan bagi anda sendiri untuk lakukan. 

Jika esai anda diperintahkan untuk menemukan solusi yang ditujukan untuk pejabat sedangkan anda pelajar, maka berilah solusi yang dekat dengan pejabat juga. Biasanya perlombaan yang diadakan oleh lembaga meminta solusi yang bisa lembaga itu lakukan, contohnya Kementerian Kesehatan mengadakan lomba esai tentang meningkatkan kesadaran pentingnya vaksinasi oleh pejabat daerah, maka lakukanlah wawancara pada pejabat daerah anda tentang apa masalah yang mereka hadapi terkait vaksinasi, lalu simpulkan apa solusi yang bisa pejabat itu lakukan.

Selain mempelajari hal teknis, berlatihlah dengan hal paradigmatis.

Esai tidak sempurna bila hanya baik secara teknis seperti struktur, tanda baca, ejaan bahasa, sitasi, dan semacamnya tapi juga baik bagi orang lain dalam pandangannya. Ingat! Anda menulis esai bukan untuk disajikan pada diri sendiri, anda menyajikannya kepada orang lain, maka buatlah esai itu baik di mata orang lain meskipun pasti ada kekurangannya. Jadi, baik menurut diri kita sendiri tidaklah cukup; baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain; perlu ada orang lain yang melihat esai itu sebelum dipublikasi atau dikirimkan. 

Cara sederhana agar esai diterima baik oleh orang lain adalah sering berkonsultasi dan mempresentasikan esai anda kepada ahli di bidangnya, guru bahasa, teman-teman, atau siapapun yang bisa anda mintai prespektif dan evaluasi tentang esai anda. Saring semua pendapat dan evaluasi itu, gunakanlah untuk menyempurnakan esai anda.

Awas! Hindari Menggunakan Kata "Yang" di Awal Kalimat.

Saya teringat mentor karya ilmiah saya mengatakan bahwa haram hukumnya untuk mengawali kalimat dengan kata hubung "yang". Meski begitu, banyak melakukannya dalam esai. Pilihlah kata sambung yang sesuai dengan apa yang disambung, contohnya "Kepala negara harusnya bijak memutuskan sesuatu sebagaimana tugas yang dia emban", jangan "Para menteri melaksanakan tugasnya dengan baik apalagi perintah yang diberikan oleh presiden". 

Supaya kalimat anda terkesan kritis, seringlah menggunakan konjungsi komparatif yang tentu membuat pembaca harus berulang-ulang membaca tulisan anda, bukan karena sulit dipahami tapi perlu pendalaman pikiran untuk memahaminya. 

Judul harus proporsional dan efektif. Judul esai yang baik tidak lebih dari 15 kata. Maksimalkan jumlah itu untuk pemadatan makna pada judul. Pastikan kalimat judul itu kalimat efektif.

Jangan sampai ada kontradiksi

Diksi sangat diperlukan untuk membuat esai anda keren. Jika diksi yang anda tulis terlalu rendah maka esai anda tidak lebih dari kalimat yang tidak berasa; selain menyentuh pikiran, diksi harus menyentuh hati. Jika diksi yang anda pilih terlalu tinggi atau tidak sesuai dengan posisi pembaca maka besar kemungkinan besar esai anda tidak dipahami dengan baik dan dianggap berlebihan.

Baik fakta maupun opini harus selaras dari awal sampai akhir. Jangan sampai ada opini di pendahuluan yang bertentangan di isi misalnya; hindari fakta-fakta yang bersilangan. Jika memang anda ingin menghidupkan pertentangan fakta maka argumen yang anda gunakan harus melalui crosscheck atau periksa silang, padukan pertentangan itu supaya menghasilkan pikiran baru, esensi baru, masalah baru, solusi, atau penyempurnaan; jika esai anda fokus untuk menggunakan satu fakta dari satu posisi atau prespektif maka gunakanlah secara konsisten dan kokoh, jangan ada keraguan data yang membuat esaimu seperti tulisan perdebatan yang tidak menemukan maksud dari data-data itu.

Paragraf demi paragraf ibarat kereta, bukan tutul harimau.

Paragraf demi paragraf ibarat kereta artinya harus nyambung dari paragraf satu dengan yang lainnya, bukan seperti tutul harimau yang tidak beraturan. Untuk menyambungkan gerbong kereta, diperlukan pengait atau penyambung; gunakan paragraf sambung di antara 2 paragraf  yang berbeda bahasan atau gunakan kalimat sambung di akhir paragraf jika paragraf selanjutnya berbeda bahasan. Paragraf atau kalimat sambung yang baik akan menjadi transisi yang sempurna antar paragraf, sedangkan paragraf-paragraf yang tidak sambung berpotensi akan melebar dan tidak ada titik simpulnya.

Pilihlah teknik pengumpulan data yang benar dan tepat!.

Pengumpulan data sewajarnya dilakukan di awal penulisan bahkan sebelum menentukan topik dan permasalahan sebagai rujukan atau bahan memahami pohon isu. Beberapa kesalahan yang terjadi adalah penulis mencari referensi ketika tulisan sudah jadi atau setengah jadi untuk kemudian dicocokkan dengan statement dan dicantumkan, itu kurang efisien. 

Anda bisa memilih dari sekian banyak teknik pengumpulan data: Studi pustaka, wawancara, dan observasi. Pilihlah salah satu yang berpotensi memberi anda data lengkap mengenai topik anda. Lalu gunakan data itu sebagai referensi dan rujukan yang nantinya dicantumkan di daftar pustaka atau daftar rujukan. Setelah tulisan anda selesai anda boleh mencari referensi lagi untuk memperkuat dan mendukung substansi pada esai anda.

Pilihlah teknik analisis data yang benar dan tepat!.

Menganalisis data jangan menggunakan teknik kompilasi atau imitasi. Kompilasi artinya menumpuk berbagai macam data untuk membuktikan satu teori atau fakta. Jika demikian esai anda akan terlihat seperti tumpukan buku yang tidak teratur. Anda harus mengusai data dan menyampaikan ulang dengan bahasa anda sendiri dan disesuaikan antara data dengan topik, data dengan masalah-solusi, dan data dengan data. Imitasi juga akan memperbesar plagiarisme anda karena ia hanya memindahkan data secara mentah ke esai anda, terkecuali itu undang-undang atau naskah asli yang tidak boleh dirubah. Jangan pula terlalu banyak mencantumkan undang-undang untuk memperbanyak tulisan anda di esai itu, jelas itu akan memperlemah fokus bahasan anda.

Seperti kata Jacques Derrida, seorang filsuf terkenal dari Perancis menyatakan bahwa menulis adalah sumber aktivitas budaya. Esai merupakan sebuah karya tulis pendek yang berupaya mengucapkan kembali apa yang krusial. Oleh sebab itu, setiap perlombaan esai selalu mengangkat tema yang update dan krusial. Sesungguhnya, perlombaan esai ingin menilai sejauh mana penulis bisa menggambarkan permasalahan dan menyajikan solusi dengan baik melalui tulisan anda.

Semoga Bermanfaat!.

Jika ada pertanyaan tulis di kolom komentar yah!!.

ALAM DAN ANAK INDONESIA, HARMONISASI SEMESTA

Oleh: Dafiq Febriali Sahl

Kedekatan Anak Indonesia dengan alamnya (Foto oleh Penulis)

Cinta kepada alam artinya cinta kepada keindahan dan kebijaksanaan karena eksistensi alam adalah sumber dari keluruhan, keharmonisan, dan keindahan, di Yunani itu dikenal dengan philia atau cinta pada kebijaksanaan. Manusia adalah bagian khusus dari alam, bukan sebaliknya. Aksioma ini akan merubah pola pikir kita sebagai manusia tentang alam, bahwa manusialah yang bergantung pada eksistensi alam, bukan sebaliknya. Alam jauh lebih berkuasa dari manusia, kehendaknya melampaui kehendak manusia; seringkali kehendak alam menjadi petaka bagi manusia yang berkehendak merusaknya. Tapi, jika manusia menghendaki kasih dan sayang kepada alam, maka alam akan membalas lebih dari yang dikehendaki manusia. Itulah yang dinamakan algoritma kehendak antara alam dan manusia. Tapi bukan kesadaran moral yang demikian yang harus pahami, melainkan "alam adalah kita", kemudian dikenal dengan konsep the extended self.

Manusia harus memahami alam sebagai bagian dari dirinya, harus ada semacam pembauran antara alam dan manusia. 

Anak Indonesia adalah salah satu representasi dari kecintaan kepada alam. Mereka hidup di negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya raya di bumi ini. Keseharian dalam hidup mereka tidak lepas dari alam. Bukan hanya anak desa, anak kota yang memiliki kesadaran ekofeminisme juga turut terjun langsung di alam. Kita dapat melihat anak desa yang bermain lumpur di sawah, berenang di sungai, mencari ikan, bermain layang-layang, memancing belut, dan bermain di alam lepas. Tanpa disadari, hal sepele itu membangun memori luar biasa pada anak tentang alam yang menyatu dengan kehidupan. Anak kota pun demikian, tak jarang kita jumpai komunitas pecinta lingkungan di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan kota-kota besar lainnya.

Asal-usul patriarkisme pada alam disebabkan adanya demarkasi antara kehidupan sosial, biologis, dan alam. Kedekatan dengan alam akan menyadarkan anak bahwa sandang, pangan, dan papan yang dibutuhkannya disediakan oleh alam. Tubuh biologis manusia juga diciptakan dari tanah yang merupakan unsur fundamental bumi; begitu juga tubuh itu kembali ke bumi. Sumber pangan pokok seperti 4 sehat, 5 sempurna juga berasal dari bumi. Papan juga berasal dari bumi yang kemudian ditancapkan ke dalam bumi. Tidak ada demarkasi sedikitpun antara anatomi biologis manusia dengan alam.

Kehidupan sosial juga sama. Orang-orang kota merasa hidup mereka tidak bersentuhan langsung dengan alam sehingga tanggung-jawab merawat alam diletakkan pada manusia yang bersentuhan langsung dengan alam; bukan hanya tanggung-jawab tapi juga dampak buruk dari perusakan alam oleh orang-orang kota melalui konsumerisme, eksploitasi, kebijakan yang gagal, dan kehidupan yang tidak ramah lingkungan. Justru, orang kota lah yang bersentuhan langsung dengan alam namun dalam wajah yang berbeda, seperti banjir akibat kurangnya daerah resapan, tanah ambruk karena proyek, tanah turun karena sedikitnya air tanah, polusi akibat kehidupan konsumtif, atau bencana-bencana lain akibat ulahnya sendiri. Fenomena itu adalah luapan amarah alam, analoginya seperti manusia sebagai bayi yang dilahirkan dan dirawat oleh ibunya (alam).

Sebenarnya, manusia sekarang sudah menjadi korban dari keganasannya sendiri. Meskipun alam sudah memberikan peringatan melalui krisis, wabah, dan bencana, namun sepertinya manusia belum sepenuhnya sadar akan pentingnya memulihkan alam. Eksploitasi terus berlanjut, limbah masih mengalir, udara masih penuh asap-asap karbon dioksida (emisi), hutan-hutan masih dideforestisasi, sungai masih mengalirkan sampah, dan lain sebagainya. Tidak perlu jauh-jauh membahas negara lain, Indonesia saja belum sepenuhnya bisa bangkit dari keterpurukan alam akibat tangannya sendiri.

Siapa korban selanjutnya?. Ialah anak Indonesia. Pemandangan yang kita lihat sebagai harmonisasi semesta akan menjadi distopia semesta. Mungkin, jika ini masih terjadi, anak Indonesia tak lagi bisa ke sawah dan bermain sebab sawah sudah berubah menjadi beton, anak-anak lebih mudah terserang penyakit karena bahan kimia yang membanjiri makanan, hilangnya solidaritas sosial berubah menjadi individualisme, tidak ada lagi tempat wisata yang indah, atau tutupnya kebun binatang akibat punahnya spesies hewan dan tumbuhan.

Fakta-fakta di atas bukanlah metafor yang didramatisir, melainkan pesimistis tentang eksistensi alam di masa depan. Sejauh alam ada, sejauh itulah manusia hidup. Indonesia yang menyimpan kekayaan luar biasa bukan berarti dieksploitasi secara luar biasa, melainkan sebagai sinyal tanggung-jawab besar untuk mengelolanya dengan baik. "Keberlanjutan" yang dibangun oleh pemimpin-pemimpin dunia harus menjadi aksi bukan retorika lagi. Pengetahuan korelasi ekonomi-ekologi harus dikuasai para pemangku kebijakan; kesadaran ekofeminisme harus tumbuh bersama masyarakat; kedekatan anak dengan alam harus dibangun; eksploitasi alam para pengusaha harus dikurangi; dan modal-modal harus memprioritaskan kesehatan alam. Munculkan pendidikan dan gerakan lingkungan untuk merawat alam, serta pangkas kebijakan yang tidak memihak pada alam. Ini bukan tugas aktivis lingkungan, ini tugas kita semua!.

Cinta kepada alam adalah cinta yang universal baik penerapan dan tanggung-jawabnya. Jika cinta itu hadir di hati anak-anak kita maka mereka mendapatkan apa yang disebut harmonisasi semesta. Lawan dari harmonisasi semesta bersumber dari ketamakan dan kebodohan manusia, dengan demikian jika seseorang tidak mencintai alam maka memungkinkan ia menganggap alam sebagai objek kehidupan dan menumbuhkan sifat rakus di hatinya.

Banyak hal yang bisa dilakukan manusia untuk merawat alam, sama seperti cara alam merawat manusia. Untuk siapa? Untuk anak-cucu kita semua!.

Kamis, 19 Mei 2022

Arek Gisek: Melestarikan Tradisi Bahari sebagai Manifestasi Karakter Gotong Royong di Pesisir Pasuruan dari Zaman ke Zaman

Oleh: Ferdian Subiyanto, Sarah Zeta Aulia, Dafiq Febriali Sahl

Juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah Sejarah Nasional ODISEA Universitas Negeri Malang 2021 Tingkat SMA/SMK/MA sederajat.

Para nelayan sedang menggiring perahu jukung di Pesisir Pasuruan

(Sumber: Arsip Perpustakaan Kota Pasuruan)

Laut Nunsatara telah lama menjadi arena aktivitas bangsa-bangsa asing seperti Tiongkok, India, dan Arab baik dalam bentuk perebutan pengaruh atau kekuasaan,[1] salah satunya di Pantai Utara Jawa (Pantura). Sejak abad ke-9, Pasuruan berperan besar dalam perdagangan internasional dan gerbang utama bagi pengaruh-pengaruh asing yang sekuat tenaga berdialektika dengan kearifan lokal sehingga terbentuk tradisi-tradisi bahari pada masyarakat pesisir hingga saat ini (Leur, 1983; Houben, Maier, dan Molen, 1992).[2]

Secara genealogis, gerak dialektik sejarah antara pengaruh asing (Hindu-Buddha dan Islamisasi sejak abad ke-15) dengan kearifan lokal yang mencakup pola hidup, keyakinan, dan sosio-kultural masyarakat Pesisir Pasuruan membentuk tradisi bahari di Pesisir Pasuruan yakni Praonan dan Petik Laut yang diwariskan dengan cara gethok tular sampai kemudian berkembang menjadi tradisi bahari prestisius semenjak dibentuknya Kecamatan Panggungrejo oleh Pemerintah Kota Pasuruan pada tahun 2012.[3]

Topografi Pelabuhan Pasuruan dan kawasan Pesisir Pasuruan (Sumber: ANRI, Town Plane No.1297)

Dalam kajian historis-antropologis, selain membuktikan ketangguhan dan kema-juan masyarakat maritim, tradisi Petik Laut dan Praonan juga mencerminkan identitas nasional bangsa Indonesia yakni gotong royong. Prosesi pra ritual, ritual, pasca ritual, hingga upaya pelestarian Praonan dan Petik Laut telah melibatkan solidaritas sosial seluruh elemen masyarakat baik lokal maupun luar daerah yang memperkuat karakter gotong royong masyarakat (Wachid, 2021).

Perkembangan Praonan dan Petik Laut mengalami titik kritis pada abad ke-21 dimana hidup di tengah pusaran disrupsi berupa digitalisasi dan globalisasi (vernetzung) yang sifatnya ambivalen memungkinkan ekses yakni terkikisnya rantai tradisi-tradisi hingga hilangnya karakter gotong royong melalui perombakan tatanan sosial-budaya pada diri masyarakat dan pemuda di Pesisir Pasuruan.[4]

Petik Laut dan Praonan sebagai legacy dari sejarah maritim Nusantara penting untuk dikaji dan dilestarikan mengingat tradisi bahari kebanggaan Indonesia yang pernah berjaya sebelum kedatangan imperialis harus dibangkitkan lagi melalui regenerasi, [5] serta pelestarian tradisi bahari bagi masyarakat pesisir Pasuruan sangatlah krusial sebab pada dasarnya tradisi yang berkembang dalam masyarakat merupakan aset atau modal sosial guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sekaligus untuk menghadapi pengaruh budaya dari luar.[6]

Perahu layar sedang melaut di Pesisir Pasuruan (Sumber: Arsip Perpustakaan Kota Pasuruan)

Berdasarkan krusialitas di atas, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah dan perkembangan Praonan dan Petik Laut (abad 15-16) sebagai manifestasi karakter gotong royong serta mengidentifikasi peran arek gisek dalam melestarikan tradisi bahari tersebut di Pesisir Pasuruan pada tahun 2012-2020.

Pada masa Kesultanan Demak (Abad 15 dan 16), Demak berperan penting sebagai pos pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, Gujarat) sekaligus pusat Islamisasi di Jawa, sehingga Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali sanga (wali Sembilan) yang menyebarkan Islam di daerah-daerah pesisir (Pantura).[1] Pendekatan kultural-adaptif wali sanga dimana mengislamkan tanpa menghilangkan kearifan lokal yang sudah terbentuk seperti contoh slametan (tradisi syukuran Masyarakat Jawa) telah memperjelas bahwa Islamisasi tidak memutuskan relasi-relasi yang tegas dengan masa lalu di Jawa (sebagaimana kitab Salokantara).[2] Di sisi lain, Islamisasi tidak lepas dari transformasi sosio-kultural masyarakat dari alam Hindu-Buddha menuju alam Islam bersama Demak sebagai poros Islamisasi di Jawa pada abad ke-16 (Prajarto, 2004, h. 130).

Perkembangan Islamisasi oleh wali sanga melalui jaringan maritim Demak di Pantura berhasil melahirkan berbagai produk akulturasi antara identitas masyarakat pesisir dengan identitas Islam, salah satunya adalah “kupatan” yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai simbolisasi riyaya (Hari Raya Ketupat) pada hari ketujuh Idul Fitri (8 Syawal) yang mana ketupat pada masa Hindu-Buddha masih digunakan untuk ritual penghormatan Dewi Sri (dewi kekayaan dan kemakmuran), sesaji, jimat, atau penolak bala’ oleh masyarakat Jawa (Graaf, 1997; Akbar, 2010). Kulit ketupat yang tersusun rumit mencerminkan masyarakat Jawa yang kompleks, janur berfungsi untuk memanifestasikan identitas masyarakat pesisir yang subur akan pohon kelapa, sedangkan warna kuning pada janur dimaknai sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau (Timur Tengah) dan merah (Asia Timur).[3]

Muara Gembong Pasuruan (1920) (Sumber: Nanyo Toko Takauchi)

Sejak Pasuruan menjadi bagian dari Kesultanan Demak pada masa Sultan Trenggono (1527-1535), Pasuruan menerima pengaruh Islamisasi yang cukup besar bahkan berperan penting dalam Islamisasi di samping Gresik dan Tuban.[4] Dengan demikian, kupatan mengalami dialektika dengan kearifan lokal masyarakat Pesisir Pasuruan. Latar belakang sosio-kultural masyarakat Pesisir Pasuruan yang bekerja, berkebudayaan, dan berorientasi maritim mendorong pengemasan kupatan dengan corak kebaharian. Pada saat kupatan, rasa syukur dan bahagia atas nikmat berpuasa Ramadhan dan Idul Fitri beserta kemakmuran laut yang diberikan oleh Tuhan diekspresikan masyarakat Pesisir Pasuruan dengan cara menyambut dan mengajak para keluarga, kerabat, tetangga, dan tamu mereka untuk melaut menggunakan perahu-perahu tradisional yang telah menjadi sarana transportasi sejak masa prasejarah,[5] ekspresi riyaya (kebahagiaan) itu kemudian dikenal sebagai tradisi bahari Praonan.[6]


Praonan berasal dari Bahasa Jawa artinya “Naik Perahu” merupakan tradisi bahari khas Pesisir Pasuruan sebab dilahirkan dan dikembangkan masyarakat Pesisir Pasuruan sebagaimana di Kabupaten Pasuruan yakni Pantai Karang Hitam, Desa Semare, Desa Wates, Desa Kalirejo, Desa Jatirejo, dan Desa Tambak Lekok, sedangkan di Kota Pasuruan yaitu Pelabuhan Pasuruan dan Tambaan. Uniknya Praonan, masyarakat Pesisir Pasuruan contohnya di Mandaranrejo, Mayangan, dan Ngemplakrejo menyediakan aneka hidangan ketupat di ruang tamunya dalam rangka menjamu siapapun yang ingin bertamu di rumah mereka. Praonan selain unik juga menjadi momen bahagia bagi semua kalangan masyarakat Pasuruan secara turun temurun (Wachid, 2021).

Perkembangan corak perayaan Praonan dapat dikaitkan dengan kesenian masyarakat pesisir pada zaman Hindu-Buddha. Pasalnya, pada masa Hindu-Buddha telah dikenal berbagai jenis kapal yang dijadikan hiasan sebagai betuk kesenian maritim (Burhanuddin dkk, h. 173). Praonan pada implementasinya juga perwujudan hormat sekaligus bangga terhadap leluhur atau pendahulu masyarakat pesisir sebab bagi mereka, menangkap ikan dan berlaut dengan cara, alat, dan teknologi tradisional (jaring, perahu, pancing dan sebagainya) yang telah digunakan jauh sebelum kedatangan teknologi modern merupakan bentuk pendekatan dengan alam yang sekian lama mencukupi kebutuhan hidup nelayan (lihat lampiran VI).[7]

Sekitar awal abad ke-21, Praonan sudah diselenggarakan setiap tahun oleh masyarakat sebagai tradisi bahari di Pesisir Pasuruan. Berdirinya Kecamatan Panggungrejo (2012) telah mengintegrasikan dan mengangkat identitas sosial-budaya masyarakat Pesisir Kota Pasuruan yang sebelumnya sporadis dan tertinggal. Dengan demikian, Praonan yang dahulunya bersifat esklusif bagi etnis dan komunitas tertentu mulai diangkat dan dipromosikan menjadi tradisi bahari inklusif dalam wisata bahari oleh Pemerintah Kota Pasuruan. Oleh sebab itu, Praonan mulai naik daun sebagai tradisi bahari prestisius yang dilestarikan oleh seluruh elemen masyarakat di Pasuruan. Eksistensi Praonan bertahan karena mendatangkan kemaslahatan baik secara finansial (ekonomi), sosial (solidaritas dan persatuan), dan religi sebagaimana fungsi dari tradisi untuk masyarakat (Wachid, 2021; Aziz, 2019).

 

4.1.2    Praonan sebagai Manifestasi Karakter Gotong Royong

Masyarakat Pesisir Pasuruan mengenal pepatah Jawa: “Rumangsa melu anduweni, wajib melu angrungkepi” (merasa memiliki, wajib ikut menjaga). Dalam kajian etnografi di Pesisir Pasuruan oleh Fidia (2015), masyarakat Pesisir Pasuruan didominasi oleh Masyarakat Pendhalungan yang memiliki sosio-kultur berupa solidaritas sosial yang kuat, sistem kekerabatan yang erat, dan memiliki antusiasme tinggi terhadap religi (puritan),[8] sehingga mengandalkan kegiatan nyata berbasis masyarakat (gotong royong) dimana tokoh masyarakat dapat bekerjasama dengan penduduk, pemerintah, dan komunitas-komunitas untuk mengurus tradisi bahari Praonan.

Dalam merayakan Praonan, masyarakat Pesisir Pasuruan akan menghias dan melengkapi semua perahu tradisional yang ada terutama Perahu Layar dan Perahu Jukung dengan pengaman. Para partisipan Praonan umumnya berbekal ketupat untuk dimakan bersama (mayoran) saat melaut sambil menyaksikan hiu-hiu tutul yang biasa bermun-culan di sekitaran 6-7 Km dari Pesisir Pasuruan. Lamanya melaut sekitar 30-60 menit, dan setelah itu bergantian dengan yang lain, hal itu pun berlangsung dari pagi sampai sore hari (lihat lampiran VI). Demi meramaikan Praonan diadakan perlombaan seperti memancing ikan, skilot, karapan sapi, menghias perahu, drumband, pertunjukan musik tradisional, dan tarian daerah Pasuruan yaitu Tari Terbang Bandung. Orkesan (pagelaran musik), pesta kembang api, dan pagelaran tradisional lain menjadi pengiring berakhirnya Praonan selama satu hari penuh itu (Wachid, 2021).

Saat Praonan, masyarakat nelayan cuti; pemerintah dari RT sampai Kecamatan Panggungrejo bersama memobilisasi massa; Polisi Masyarakat dan Otoritas Syahbandar (KSOP) membantu penertiban dan pengamanan; para perempuan (ibu-ibu) juga bergotong royong memasak dan menyiapkan aneka hidangan utamanya ketupat di ruang tamu mereka; serta komunitas seniman dan budayan akan ikut mewarnai Praonan ini. Bahkan berlaku suatu sanksi sosial apabila terdapat Masyarakat Pesisir yang tidak ikut dalam membantu Praonan ini. Praonan merekatkan hubungan sosial masyarakat pesisir antara patron (orenga, pengamba’, juru mudi, tengkulak, dan lainnya) dengan klien (pandhiga dan buruh nelayan) dalam kerangka egaliter dan solidaritas sosial sebagai masyarakat pesisir. Dengan berpartisipasi dalam kegiatan ini, artinya telah membantu pendapatan para nelayan. Mereka senang karena mendapatkan penghasilan tambahan dan kita dapat menikmati keindahan pemandangan laut (simbiosis mutualisme).

 

4.1.3    Sejarah dan Perkembangan Tradisi Petik Laut di Pesisir Pasuruan (1500-2020)

Sejak zaman prasejarah, kemaritiman adalah aspek yang sangat vital dari perja-lanan sejarah bangsa Indonesia.[9]  Sebelum kedatangan bangsa barat, masyarakat pesisir Indonesia telah memiliki jiwa bahari berupa keyakinan dan pola hidup dimana laut meru-pakan sumber kelangsungan, pertumbuhan, dan kesejahteraan yang utama bagi kehidu-pan mereka.[10] Dengan kata lain, masyarakat pesisir percaya bahwa terdapat kekuatan dalam sumber daya laut yang secara supranatural (an sich) telah memberi kemakmuran sehingga masyarakat pesisir menghormati kekuatan laut melalui ritual-ritual untuk mensyukuri kemakmuran laut sekaligus berharap agar laut tetap memberikan kemak-muran di hari mendatang. Pola kepercayaan itu mengakar menjadi tradisi bahari seperti larung sesaji, sedekah laut atau populernya yaitu Petik Laut.

Menurut Setiawan (2016),[11] secara etimologi Petik laut artinya memetik, mengambil, memungut atau memperoleh hasil laut yang dapat menghidupi para nelayan atau lainnya. Secara terminologis Petik Laut adalah upacara adat atau ritual kosmologis sebagai rasa syukur kepada Tuhan, untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan yang dilakukan oleh para nelayan, nama lain Petik Laut adalah sedekah laut atau memberikan persembahan kepada laut (h. 235). Dalam memahami sejarah tradisi Petik Laut, penting untuk meneropong dahulu sejarah dan perkembangan tradisi Petik Laut yang lahir pada masyarakat Pesisir Muncar, Banyuwangi sebelum menuju Pesisir Pasuruan.

            Blambangan (Banyuwangi) merupakan kerajaan bercorak Hindu terakhir yang bertalian dengan kerajaan Majapahit sebelum ditaklukkan oleh Kesultanan Demak pada 1526-1527 (Graaf, 1952, h. 140-141; Abimanyu, 2017, h. 316). Tidak dapat dipungkiri, pengaruh Hindu-Buddha telah mengakar dalam konsep sosial budaya di Jawa. Tanda dan legacy esensial dari kerajaan Hindu-Buddha yang tidak dapat diragukan ialah penghorma-tan terhadap roh leluhur di Jawa. Berdasarkan kepercayaan kuno, penghormatan tersebut merupakan keharusan demi memelihara tata kosmis dimana ikatan-ikatan antara dimensi kehidupan-kematian diperkuat oleh upacara-upacara itu,[12] sampai periode Islamisasi yang dimulai dari kedatangan masyarakat Madura.

Masyarakat Madura yang mayoritas Islam dan berprofesi sebagai nelayan atau pelaut telah banyak mendiami Pesisir Muncar, Banyuwangi dalam kurun waktu yang lama dan terintegrasi dalam masyarakat lokal Pesisir Muncar. Periode itu seirama dengan Islamisasi oleh Sunan Giri yang memerintahkan muridnya yakni Sayyid Yusuf Al-Anggawi untuk menyebarkan Islam di Madura Timur termasuk Blambangan.[13]

Perlu digaris bawahi, pengaruh Islamisasi sangat kuat sebab para pembawa Islam mampu menyesuaikan nilai-nilai dan struktur masyarakat lama terhadap nilai-nilai baru baik di Jawa dan Madura.[14] Berdasarkan Babad Sumenep, suatu ketika saat Sayyid Yusuf berdakwah di Muncar, ikan-ikan di Muncar lenyap dan banyak nelayan yang meninggal saat melaut, oleh sebab itu Sayyid Yusuf menggerakkan masyarakat pesisir Muncar untuk melakukan sedekah laut (sesaji) salah satunya terdiri dari kepala kambing (kendit), sebab sesaji (persembahan) adalah cara penghormatan terhadap roh leluhur termasuk kekuatan laut yang telah lama mengakar. Hasilnya, bala’ (bencana) yang melanda pesisir Muncar menghilang. Sejak saat itu diadakan pelarungan sesaji di laut demi menghormati kekuatan laut khususnya kepada Nyi Roro Kidul oleh masyarakat Pesisir Muncar.[15]

Nyi Roro Kidul merupakan penguasa laut selatan sekaligus nenek moyang yang dianggap sebagai perwujudan Shang Hyang Iwak atau dewi laut yang dihormati oleh masyarakat pesisir Muncar dengan cara mengadaan ritual adat Jawa setiap 15 Suro atau 15 Muharram yang bernama upacara “Petik Laut”.[16]  Berdasarkan hal tersebut, Petik Laut dapat dikatakan sebagai tradisi bahari hasil dialektika dari Islamisasi (Sayyid Yusuf), Hindu-Buddha (penghormatan nenek moyang), dan kearifan lokal (Nyi Roro Kidul) di Pesisir Muncar, Banyuwangi (Setiawan, 2016; Santoso, 1991; Sumarto, 1996).  

Petik Laut terus mengalami perkembangan dalam sejarahnya. Pertama, Petik Laut sudah diselenggarakan oleh nelayan Muncar sejak tahun 1901 yang dipimpin oleh dukun,[17] ditinjau dari korelasi erat kearifan lokal masyarakat Pesisir Muncar dengan kepercayaan kuno yang telah dijelaskan sebelumnya dimana ketika Petik Laut tidak diadakan maka akan terjadi bala’ sehingga mereka percaya bahwa Petik Laut harus selalu diselenggarakan (Ibid., 2016).

Kedua, perkembangan Islam awal abad ke-20 mentransformasikan Petik laut menjadi bagian dari Islam partikultural yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kearifan lokal di Muncar, Banyuwangi.[18] Keterlibatan para kiai dan santri mewarnai pelaksanaan Petik Laut di Muncar dengan berbagai unsur Islam.[19] Hal itu dibuktikan dari peran para santri dalam kegiatan yasinan (membaca Surat Yasin) dan tahlilan (membaca tahlil) pada hari pertama dan khataman (pembacaan Al-Quran) pada hari kedua sebelum pelarungan sesaji (inti Petik Laut) pada hari ketiga. Terdapat juga sholawatan (membaca shalawat) bersama-sama saat pengiringan sesaji ke laut menaiki perahu gethek beserta perahu-perahu nelayan lain, sampai pembacaan doa-doa saat sesaji dilarung ke laut.

Masuknya unsur Islam dalam Petik Laut merupakan wujud kontemporer dari Petik Laut karena posisinya sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat Pesisir Muncar atas limpahan kemakmuran yang diberikan Tuhan melalui kekayaan dan kekuatan laut.[20] Lebih lanjut, tradisi Petik Laut menyebar pesat di pesisir di Jawa Timur dan Madura dan selanjutnya merupakan telaah genealogi Petik Laut di Pesisir Pasuruan.[21]

Dalam prespektif historis, masyarakat Pendhalungan (Jawa-Madura) diperkirakan sudah mendiami Pesisir Pasuruan sejak berabad-abad sebab Pantura tidak hanya berperan strategis dalam Islamisasi namun juga perdagangan internasional. Identitas masyarakat Pesisir Pasuruan yang tidak jauh beda dengan masyarakat Pesisir Muncar tentu berdam-pak pada kesamaan tradisi baharinya sehingga lahirlah Petik Laut di Pesisir Pasuruan. Petik laut sudah dilaksanakan sebelum tahun 1970 dan naik daun pada masa Pemerintahan Walikota Pasuruan H. Hasani S.H. (2010-2015); sebab masyarakat Madura telah diangkat tradisi dan kebudayaannya menjadi lebih produktif, prestisius, dan kompetitif dimana sebelumnya dipandang sebelah mata. Perayaan Petik Laut di Pesisir Pasuruan tidak kalah meriah dan sakral dibanding perayaan petik laut di daerah pesisir lainnya (Abdul, 2021; Wachid; 2021).

 

4.1.4    Petik Laut sebagai Manifestasi Karakter Gotong Royong

            Masyarakat Pesisir Pasuruan mengaitkan Petik Laut dengan kegiatan “bersih desa” yakni solidaritas sosial masyarakat untuk membersihkan desanya masing-masing. Sebelum Petik Laut, masyarakat pesisir juga khataman Al-Quran sebagai tradisi slametan di setiap Musholla atau Masjid masing-masing. Selain itu, dalam rangka merayakan Petik Laut, masyarakat juga mengadakan bari’an atau mayoran atau makan bersama sebagai wujud gotong royong masyarakat Pesisir Pasuruan.

            Tidak hanya Praonan, Petik laut juga menyimpan keunikannya tersendiri yakni masyarakat setempat menyembelih sapi sebagai rangkaian acara slametan desa kemudian kepala sapi tersebut dilarung di laut sebagai tanda penghormatan terhadap penjaga laut. Tradisi ini tentu membutuhkan bantuan dari banyak khalayak dalam pelaksanaannya. Masyarakat pesisir sangat bersimpati terhadap pengembangan tradisi ini. Karang Taruna sebagai organisasi muda juga turut bergerak dalam pelestarian Tradisi Petik Laut. Banyak ide dan rencana yang sudah dilakukan dan akan dilakukan oleh mereka. Misalnya dengan mengikuti lomba content creator melalui sosial media sebagai wadah pelestarian budaya setempat; maupun melakukan karnaval Petik Laut agar Petik Laut di Pesisir Pasuruan semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat Pasuruan dan juga luar Pasuruan. Tidak dilakukan seorang diri, Karang Taruna juga melakukan banyak kerjasama dengan komunitas pemuda lainnya di Pasuruan untuk meneruskan tradisi ini. Gotong royong sangat tercermin dari tindakan komunitas muda yang ada di pesisir Kota Pasuruan.

 

4.2       Peran Arek Gisek Melestarikan Tradisi Bahari di Pesisir Pasuruan (2012-2020)         

            Mayoritas tradisi masa sekarang termasuk Praonan dan Petik Laut telah melewati batas waktu dengan mengalami penyesuaian dengan perkembangan-perkembangan baru. Maknanya, bahwa suatu tradisi telah direvitalisasi dan berimprovisasi dari apa yang disebut kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi untuk memperkokoh identitas suatu kelompok sosial dan bertahan sebagai modern dan prestisius sekalipun tidak lagi otentik sebagaimana tradisi itu hidup dan dimaknai di masa lalu.[22]

Dalam rangka melindungi Praonan dan Petik laut dari disrupsi zaman dan penetrasi budaya-budaya asing diperlukan pembangunan mindset sebagai salah satu langkah. Oleh sebab itu, dilakukan identifikasi pemahaman arek gisek terhadap tradisi Praonan sebagai tradisi bahari tertua di Pesisir Pasuruan melalui angket online “Praonanku” yang diperoleh fakta antara lain: (1) tingginya pengetahuan arek gisek terhadap eksistensi Praonan, (2) rendahnya angka partisipasi arek gisek terhadap tradisi lokal Praonan, dan (3) tingginya keinginan arek gisek untuk melestarikan tradisi lokal Praonan (lihat lampiran II).

Pertama, 83,5% responden menyatakan mengetahui tradisi lokal Praonan, 16,5% responden tidak mengetahuinya, 80% responden menyatakan mengetahui bahwa Praonan merupakan tradisi lokal khas Pesisir Pasuruan. Data tersebut telah membuktikan bahwa arek gisek cukup memahami eksistensi tradisi lokal Praonan yang khas dari Pesisir Pasuruan. Artinya, terdapat kajian maritim atau pengalaman yang dimiliki oleh arek gisek hingga sampai pada pemahaman-pemahaman tersebut.

Kedua, 34,7% responden menyatakan pernah berpartisipasi langsung, 31,8% responden tidak pernah berpartisipasi, dan 33,5% responden hanya mengetahui. Rendahnya partisipasi langsung dari arek gisek dalam Praonan adalah realita bahwa Praonan masih dianggap monoton, membosankan, atau kurang kreativitas bagi arek gisek. Meskipun demikian, pada poin ketiga 65,3% responden menyatakan bahwa pelestarian Praonan “sangat perlu” dilakukan dan 34,1% responden yang menyatakan “perlu” dilakukan. Lebih dari itu, arek gisek juga berperan dalam memberikan sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif ditinjau dari jawaban atas pertanyaan: Sebagai generasi muda, bagaimana upaya anda melestarikan Praonan?.

Dalam melestarikan Praonan dan Petik Laut melalui kajian maritim, pranata sosial berfungsi dalam mengorganisir kepentingan dan kegiatan masyarakat;[23] serta berfungsi untuk pembangunan karakter gotong royong. Di Pesisir Pasuruan terdapat pranata sosial yang berbasis arek gisek diantaranya: Pramuka, Karang Taruna, dan Forum Anak. Karang Taruna Pantura Bangkit sebagai salah satu karang taruna di Pasuruan (tepatnya Daerah Ngemplakrejo) turut aktif membantu kelancaran tradisi ini bekerja sama dengan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Karang Taruna Pantura Bangkit memiliki program kerja jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, mereka membantu pelaksanaan bakti sosial, bagi-bagi sembako, dan lain-lain. Sedangkan jangka panjangnya, Karang Taruna memiliki “Rumah Kreatif”, dimana menjadi wadah untuk melatih skill anak-anak pesisir yang berfokus pada kerajinan tangan di samping kegiatan sekolah online mereka. Upaya Karang Taruna Pantura Bangkit dalam memperkenalkan budaya Pesisir Pasuruan dapat dilihat dari keikutsertaan mereka pada lomba-lomba dan berbagai kegiatan. Mereka memperkenalkan desa mereka dan kearifan lokal Pasuruan (Wachid, 2021; Abdul, 2021; Sholeh, 2021).

Dalam aspek sosial, arek gisek secara implisit memperkenalkan tradisi bahari ini kepada masyarakat melalui media-media yang mereka pegang; tujuannya tiada lain adalah memperkenalkan kekayaan budaya bahari mereka dan sekaligus mengonfigurasi-kan eksistensi komunitas arek gisek di mata masyarakat. Arek gisek membantu para nelayan untuk membuat galangan kapal, melaut atau mencari ikan, dan termasuk menyukseskan tradisi bahari ini. Arek gisek berperan sebagai paguyuban bagi tradisi bahari dan membuktikan bahwa Praonan dan Petik Laut bukanlah milik etnis Madura ataupun Jawa, namun milik bersama masyarakat Pasuruan. Dalam aspek ekonomi mereka juga tidak lepas tangan dari geliat ekonomi masyarakat pesisir baik yang terjun secara langsung maupun menjadi buffer (penyangga) (Wachid, 2021, Abdul, 2021)

Pasuruan yang dikenal sebagai daerah santri juga tidak lepas dari peran santri terutama santri gisek dalam melestarikan tradisi Praonan dan Petik Laut. Santri gisek mengambil bagian dalam ritual religi dalam tradisi bahari seperti pengajian, slametan, yasinan, dan banyak lagi. Tidaklah mengherankan, santri atau pemuda pesantren menurut Lombard (2005, h. 87) adalah pewaris dan penerus masyarakat pesisir yang telah menciptakan glory of the past pelabuhan-pelabuhan Pesisir dahulu. Fakta tersebut mampu membuktikan besarnya peran arek gisek yang berlatar belakang santri dalam melestarikan tradasi bahari di Pesisir Pasuruan.

Pada 5-6 Desember 2020, Dewan Kerja Ranting (DKR) Panggungrejo menga-dakan program “Kemah Bakti 2020” bertema “Pramuka sebagai Penggerak Literasi” di Kelurahan Tambaan, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan. Program ini fokus dalam revitalisasi aset-aset Kelurahan Tambaan sebagai salah satu tempat wisata bahari (Praonan dan Petik Laut); serta pengabdian kepada masyarakat dengan menggerakkan arek gisek dalam tubuh Pramuka Panggungrejo. Karang Taruna Bina Hang Tua, dan Karang Taruna Bangkit, tepatnya di Kelurahan Tambaan yang didirikan sebagai pranata sosial kepemudaan Pemerintah Kota Pasuruan (Sholeh, 2021).

Pada perayaan Praonan dan Petik Laut, tidak lepas pula arek gisek yang bergerak di bidang seni dan budaya. Sanggar Tari Dharma Budaya sebagai komunitas pemuda yang aktif di bidang tari menciptakan produk tari bagi tradisi bahari Petik Laut bernama Tari Larung Segoro yang mereka tampilkan pada saat perayaan Petik Laut. Tarian ini memiliki makna yang tersirat tentang rasa syukur kepada Tuhan yang melimpahkan kesejahteraan dari sektor maritim untuk manusia. Selain itu ada yang menampilkan Tari Terbang Bandung dan Tari Ngeremo Bollet Gagrak Suropati khas Jawa Timur khususnya Pasuruan dimana mengajarkan kepada pemuda betapa kayanya kemaritiman Indonesia baik tangible maupun intangible asset.

Kesimpulan

Petik laut dan Praonan merupakan buah dari pergumulan pengaruh dalam sejarah kemaritiman antara Islamisasi (Kesultanan Demak), Hindu-Buddha (Kerajaan Majapahit), dengan kearifan lokal masyarakat Pesisir Jawa yang masuk ke Pesisir Pasuruan. Tradisi bahari tersebut terus mengalami improvisasi dengan kondisi antropologi masyarakat pesisir masing-masing dan wajah perayaannya yang terus berkembang dengan tetap mempertahankan unsur tradisionalistis-religius. Nilai praksis dalam tubuh tradisi Praonan dan Petik Laut merupakan perwujudan karakter kegotongroyongan sebagai identitas nasional bangsa Indonesia.

Tradisi kemaritiman Praonan dan Petik Laut merefleksikan identitas Bangsa Indonesia yakni gotong royong. Implementasi dari nilai gotong royong itu sendiri dapat terealisasi dari segi aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dari awal persiapan acara hingga penutup. Oleh sebab itu, sebagai masyarakat lokal khususnya pemuda seperi arek gisek sudah selayaknya untuk melestarikan tradisi Praonan dan Petik Laut yang memuat nilai bangsa kita Indonesia. 

Peran arek gisek sebagai generasi penerus di sekitar wilayah Pesisir Pasuruan sangat krusial untuk menjaga kelestarian tradisi Petik Laut dan Praonan agar tidak terdiskontruksi globalisasi di masa depan; mengingat bahwa tradisi bahari ini merupakan tradisi khas masyarakat Pesisir Pasuruan. Melalui upaya pemerintah dan masyarakat sekitar terutama arek gisek untuk bergotong royong dalam tradisi bahari Petik Laut dan Praonan, maka dapat menjadi langkah utama dalam penjagaan eksistensi tradisi bahari ini. Arek gisek yang merupakan kunci dan penentu nasib tradisi Praonan dan Petik Laut di masa mendatang. 

 

Referensi

Abdul. (2021). “Eksistensi Tradisi Bahari Praonan Khas Pesisir Pasuruan”. Hasil wawancara pribadi: 2 Juli 2021, Kantor Kelurahan Mandaranrejo, Kota Pasuruan.

Abimanyu, Soedjipto. (2017). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Laksana.

Akbar, Jay. (2010). Mengunyah Sejarah Ketupat. Diperoleh dari historia.id: https://historia.id/politik/articles/mengunyah-sejarah-ketupat-Pdag6/page/1.

Aziz, Abdul. (2019). Tradisi Praonan di Pasuruan Jadi Magnet Ribuan Warga. Diperoleh dari faktualnews: https://faktualnews.co/2019/06/12/tradisi-praonan-di-pasuruan-jadi-magnet-ribuan-warga/144289/.   

Alimuddin, Muhammad Ridwan. (2005). Orang mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar mengarung gelombang perubahan jaman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Adikarya.

Bowo Herdiyanto, Soebiarto, dan Duryatin Toyyibah. (2018). Citra Daerah Jawa Timur dalam Arsip Pasuruan. Surabaya: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur.

Burhanuddin, Safri dkk. (2003). Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa bahari Bangsa Indonesia dalam proses integrasi bangsa. Jakarta: Badan Riset Perikanan dan Kelautan. Bagian SARI.

Dewantara, Agustinius W. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam Kacamata Soekarno). Yogyakarta: Kanisius.

Drake, C. (1989). National Integration in Indonesia: Patterns and Policies. Honolulu: University of Hawaii Press.

Faber, G.H. von. (1931). Oud Soerabaia: De Geschiedenis Van Indie’s Eerste Koopstad Van De Oudste Tijden Tot De Insteling Van De Gemeenteraad. Surabaya: Gemeente Surabaya.

Fajrie, Mahfudlah. (2017). Gaya Komunikasi Masyarakat Pesisir Wedung Jawa Tengah. Inject: Interdisciplinary Journal of Communication 2(1), 53-76.

Fidia, Nur. 2015. Keberadaan Madrasah dalam Masyarakat Madura Pendhalungan di Daerah Pesisir Pantai Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan (Studi Etnografi) (Skripsi, Universitas Negeri Malang, Malang). Diperoleh dari http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/Geografi/article/view/39884

Geertz, Clifford. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Giddens, Anthony. (2001). Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia.

Graaf, H. J. de. (1997). Muslim Cina Indonesia Sejarah Abad Ke-15 dan 16: Orang Cina di Indonesia (Alfajri Ismail, terj). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya..  

Gresik.info. (n.d.). Asal Mula Nama Kota Gresik yang Penuh Misteri. Diperoleh dari Gresik.info: https://www.gresik.info/asal-mula-nama-kota-gresik-yang-penuh-misteri.html

Handayani, Sri Ana. (2018). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jember: UPT Percetakaan dan Penerbitan Universitas Negeri Jember.

Houben, V. J. H., M. J. Maier, dan van der Molen. (1992). Looking in Odd Mirrors: The Java Sea. Leiden: Leiden University.

Ibrahim al-Geyoushi, Muhammad. (1971). Al-Tirmi’dhis: Theory of Saint and Sainthood. The Islamic Quarterly 1(1), 17-61.

Jonge, Huub De. (1989). Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan ekonomi, dan Islam, Suatu Studi Antroplogi Ekonomi. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Kusnadi. 2001. Masyarakat Tapal Kuda: Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik. Jurnal Ilmu-Ilmu Humaniora 2(2), 1-11.

Leur, J. C. Van. (1983). Indonesian Trade and Society: Essay in Asian Social and Economic History. Dordrecht: Foris Publication.

Lombard, Denys. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Martin, Risnowati. (2011). Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru, Malang: Sebuah Telaah Budaya Bahari. Jakarta: FIPB UI.

Milles, Matthew B., A. Huberman, dan Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif (Tjetjep Rohendi Rohidi, terj), Jakarta: UI-Press.

Pelras, Christian. (2006). Manusia Bugis. Jakarta: École Française d’Éxtrême-Orient.

Peraturan Daerah Kota Pasuruan Nomor 15 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2012 Tentang pembentukan Kecamatan Kandang Sapi. 30 Juli 2012. Lembaran Daerah Kota Pasuruan Tahun 2012 Nomor 19.

Raffles, Thomas Stamford B. (1830). The History of Java (Vol. 1). London: John Murray.

Roder, Jozef. (1959). The rockpaintings of the Mac Cluer Bay (Western New Guinea). The Antiquity and Survival 1(5), 387-400.

Penulisan Sejarah Indonesia. (2008). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Pigeaud, Th. (1938). Javaanse volksvertoningen: bijdrage tot de beschriving van land en volk. Batavia: Volkslectuur.

Olivier Johannes Raap. (2015). Kota di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: KPG.

Rahardjo, Supratikno (eds). (2018). Warisan Budaya Maritim Nusantara. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Santoso, Budi. (1991). Kehidupan Masyarakat Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, Surabaya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Timur.

Setiawan, Eko. (2016). Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi. Universum 10(2), 229-237.

Sholeh, Mifthachul. (2021). Asek Gisek melestarikan Tradisi Bahari Pasuruan. Hasil wawancara pribadi: 21 Agustus 2021, Kantor Kelurahan Ngemplakrejo, Kota Pasuruan

Sjamsudduha dkk. (1998). Sejarah Sunan Drajat dalam Jaringan Masuknya Islam di Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu

Sukarno. (1984). Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta: Inti Idayu Press.

Sulaiman, A. Sadirk. (2006). Sangkolan: Legenda ban Sajara Madhura. Pamekasan: Pemerintah Kabupaten Pamekasan.

Sumarto, Hendro. (1996). Upacara Adat Larung Sesaji: Studi Kasus di Komunitas Nelayan Puger Jember. Jember: Prisma.

Untara, S., A. Widyawan., A. J. A. Susanti., dan D. Hendrawan (eds). (2016). “Membentuk Identitas Indonesia dalam Arus Globalisasi”. Prosiding Simposium Nasional V. Surabaya: Universitas Katolik Surabaya.

Utomo, Bambang B. (2016). Warisan Bahari Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Vlekke, Bernard H. M. (2008). Nusantara: A History of Indonesia (Samsudin Berlian, terj). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Wachid. (2021). “Eksistensi Tradisi Bahari Petik Laut Khas Pesisir Pasuruan”. Hasil wawancara pribadi: 20 Agustus 2021, Kantor Kelurahan Ngemplakrejo, Kota Pasuruan.

Wasino dan Endah Sri Hartatik. (2018). Metode Penelitian Sejarah: Dari Riset hingga Penulisan. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama. 



[1]Islamisasi melalui saluran perdagangan (Demak) dipercepat oleh situasi politik beberapa kerajaan dimana adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kerajaan yang mengalami kekacauan (Majapahit), lihat: Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. (2008). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. h. 169. Wali sanga sebagai golongan pembawa Islam di pesisir, lihat: Muhammad Ibrahim al-Geyoushi. (1971). Al-Tirmi’dhis: Theory of Saint and Sainthood. The Islamic Quarterly 1(1), 17-61.

[2]Lihat: Bernard H. M. Vlekke. (2008). Nusantara: A History of Indonesia (Samsudin Berlian, terj). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. h. 96-97. Lihat pula: Th. Pigeaud. (1938). Javaanse volksvertoningen: bijdrage tot de beschriving van land en volk. Batavia: Volkslectuur.

[3]Pemaknaan ketupat menurut H. J. de Graaf dikutip dari Jay Akbar. (2010). Mengunyah Sejarah Ketupat. Diperoleh dari historia.id: https://histo-ria.id/politik/articles/mengunyah-sejarah-ketupat-Pdag6/page/1.

[4]Bowo Herdiyanto, Soebiarto, dan Duryatin Toyyibah. (2018). Citra Daerah Jawa Timur dalam Arsip Pasuruan. Surabaya: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur. h. 3. Pada pertengahan abad ke-16, Islam merupakan agama utama di Pasuruan. (Abimanyu, 2017, h. 494).

[5]Lukisan-lukisan berupa gambar-gambar perahu di dinding-dinding gua prasejarah di Indonesia membuktikan bahwa perahu sudah menjadi alat transportasi sejak masa prasejarah. (Roder 1959) dikutip dari Supratikno Rahardjo (eds). Op.cit. h. 333.

[6]Abdul Wachid. (2021). “Eksistensi Tradisi Bahari Praonan Khas Pesisir Pasuruan”. Hasil Wawancara Pribadi: 2 Juli 2021, Kantor Kelurahan Mandaranrejo, Kota Pasuruan.

[7]Tinjauan aktivitas bahari masyarakat pesisir dalam Mahfudlah Fajrie. (2017). Gaya Komunikasi Masya-rakat Pesisir Wedung Jawa Tengah. Inject: Interdisciplinary Journal of Communication 2(1), 53-76.

[8]Masyarakat Pendhalungan merupakan masyarakat atau komunitas lokal yang memiliki kebudayaan Jawa-Madura yang bersifat ekspresif dan solid, dalam persebarannya telah mendominasi kawasan Pantai Utara Jawa terutama Tapal Kuda termasuk Pesisir Pasuruan (Kusnadi, 2001).

[9]Lihat: C. Drake. (1989). National Integration in Indonesia: Patterns and Policies. Honolulu: University of Hawaii Press. h. 6., Clifford Geertz. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. h. 42., dan Risnowati Martin. (2011). Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru, Malang: Sebuah Telaah Budaya Bahari. Jakarta: FIPB UI. h. 12.

[10]Eko Setiawan. (2016). Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi. Universum 10(2), 229-237. Diperkuat dalam Supratikno Rahardjo. Op.cit. h. 249.

[11]Eko Setiawan adalah peneliti masalah sosial dan sosiolog Universitas Brawijaya, Malang.

[12]Sri Ana Handayani. (2018). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jember: UPT Percetakaan dan Penerbitan Universitas Negeri Jember. h. 77 dan Th. Pigeaud. Loc.cit.

[13]A. Sadirk Sulaiman. (2006). Sangkolan: Legenda ban Sajara Madhura. Pamekasan: Pemerintah Kabu-paten Pamekasan. h. 67. Lihat juga: Huub De Jonge. (1989). Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan ekonomi, dan Islam, Suatu Studi Antroplogi Ekonomi. Jakarta: Gramedia. h. 40.

[14]Sri Ana Handayani. Op.cit. h. 143.

[15]Strategi dakwah Sunan Ampel dan Sunan Giri di Madura salah satunya adalah menyatukan Islam dengan tradisi yang telah ada (Muchtarom, 2002, h. 48). Kendit berasal dari Bahasa Jawa yang maknanya sabuk. Yang merujuk kepada kambing kendit yang mempunyai bulu putih melingkar dari perut sampai punggung. Persembahan sapi kendit sebagai salah satu isi sesaji Petik Laut merupakan warisan dari Sayyid Yusuf, lihat: Eko Setiawan. Op.cit. h. 232.

[16]Kepercayaan adanya Nyi Roro Kidul adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat Pesisir Muncar.

[17]Hendro Sumarto. (1996). Upacara Adat Larung Sesaji: Studi Kasus di Komunitas Nelayan Puger Jember. Jember: Prisma. h. 11.

[18]Komparasi dengan tradisi dialog yang menciptakan keakuran dalam Sri Ana Handayani. Op.cit. h. 145.

[19]Petik laut yang awalnya terpengaruh kuat oleh kepercayaan kuno, anismisme, dan dinamisme mengalami beberapa transformasi menjadi tradisi bahari yang bercorak Islam Partikultural (Islam yang menyesuaikan dengan kearifan lokal) lihat Budi Santoso. (1991). Kehidupan Masyarakat Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, Surabaya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Timur. h. 57.

[20]Proses Islamisasi oleh Sayyid Yusuf hingga perkembangan Islamisasi oleh kiai dan santri yang pesat (abad ke-20) di Muncar membuat Petik Laut diterima sebagai tradisi bahari yang bercorak Islam di daerah-daerah pesisir. Eko Setiawan. Op.cit. h. 233-234.

[21]Petik Laut (Pasuruan, Banyuwangi, Malang, dan lainnya), rokatan (Madura), Tutup Layang (Lamongan).

[22]Tinjauan tradisi di masa sekarang dalam Anthony Giddens. (2001). Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia. h. 34.

[23]Kegiatan atau program yang diselenggarakan arek gisek melalui pranata sosial merupakan suatu bentuk kajian maritim secara langsung melalui sosialisasi dan interaksi asosiatif.



[1] Lihat: Supratikno Rahardjo (eds). (2018). Warisan Budaya Maritim Nusantara. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. h. 321.

[2] Bandingkan dengan Sjamsudduha dkk. (1998). Sejarah Sunan Drajat dalam Jaringan Masuknya Islam di Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu. h. 49-54.

[3] Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pasuruan Nomor 15 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2012 Tentang pembentukan Kecamatan Kandang Sapi. 30 Juli 2012. Lembaran Daerah Kota Pasuruan Tahun 2012 Nomor 19 oleh Pemerintah Kota Pasuruan.

[4] Gejala disruptif ditinjau dari Simon Untara, A. Widyawan., A. J. A. Susanti., dan D. Hendrawan (eds). (2016). “Membentuk Identitas Indonesia dalam Arus Globalisasi”. Prosiding Simposium Nasional V. Surabaya: Fakultas Filsafat Widya Mandala Universitas Katolik Surabaya. h. 36.

[5] Disimpulkan dari Bambang Budi Utomo. (2016). Warisan Bahari Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

[6] Supratikno Rahardjo (eds). Op.cit. h. 323. 

Sejumlah Anggota DPR RI, DPRD, dan Kepala Daerah Memborong Buku Colliding Stars, Novel Fenomenal Anak Indonesia

Diterimanya Novel  Colliding Stars  oleh Utut Adianto (Anggota DPR RI 2019-2024 Fraksi PDIP) Diterimanya Novel Colliding Stars oleh Tommy K...