Translate

Kamis, 19 Mei 2022

ELON MUSK DAN FILSAFAT STOIKISME

Oleh:

Aulia Aisyah Mustain (Mahasiswi Universitas Negeri Malang, Jurusan Psikologi).

Dafiq Febriali Sahl. 

Patung dada Zeno dari Citium koleksi Farnese, Naples. Foto oleh Paolo Monti, 1969.

Pada era modern yang teramat dinamis ini, semua bisa berkembang atau lenyap dengan cepat. Media sosial (Medsos) yang menjadi raksasa informasi memberikan ruang terbuka bagi siapapun untuk mengekspresikan diri. Setiap orang memiliki panggungnya; dan setiap orang berhak untuk ditonton dan diapresiasi. Itulah awal dari yang disebut distraksi sosial dan distopia mental.

Sebagian besar pengguna Medsos mengizinkan orang lain untuk melihat kehidupannya melalui postingan-postingan di dalamnya. Dalam kondisi seperti itu, hal-hal baik dari kehidupan seseorang akan menjadi tema kompetisi yang absurd. Hal-hal tidak baik atau buruk akan disembunyikan dari citra diri di Medsos. Kemudian, itu seringkali menjadi kehidupan belah bambu dimana hal-hal baik menjadi pencitraan dan hal-hal tidak baik menjadi ujuran kebencian untuk menjatuhkan seseorang. Kebenaran menjadi terdistraksi, kemudian bercampur dengan ketidakbenaran, kepentingan, kebohongan, dan sejenisnya.

Secara singkat, dampak yang ditimbulkan pada diri sendiri adalah ketidaktenangan, konflik batin, keterasingan sosial, kesepian, ekspetasi berlebihan (irasionalitas), berubahnya pola pikir, dan terkadang menghalalkan segala cara untuk hal-hal yang tidak kita butuhkan atau bahkan merugikan. Pada intinya, orang akan gagal untuk membedakan mana kebutuhan dan keinginan, mana ekspetasi dan realitas, mana kendali kita dan bukan, atau mana yang baik dan buruk. Akhirnya, Medsos dengan segala isinya bisa menciptakan keinginan-keinginan baru, ketidakpuasan, ekspetasi-ekspetasi, dan pengakuan-pengakuan yang membebani mental seseorang dan merusak tatanan sosial kemasyarakatan; itulah yang dinamakan lingkaran tak berujung atau perlombaan setan.

Semua permasalahan kompleks di atas telah menjamur dan menjadi rahasia umum dari pengguna Medsos, mungkin juga termasuk pembaca artikel ini. Ingat kata Bu Tejo, “Jadi orang itu yang solutif” maka lebih utama 1 solusi sederhana daripada 10 pembahasan masalah. Lalu apa kaitannya dengan Elon Musk dan Stoikisme?.

Elon Musk adalah seorang pengusaha sukses dan ilmuan cerdas di abad ke-21 ini. Dia menguasai media besar seperti Twitter. Tapi, dalam satu kesempatan, di Joe Rogan Podcast yang diupload di Channel Youtube Joe Rogan Clips pada 8 September 2018, Elon Musk mengutarakan fakta Medsos yang relevan dengan kondisi batin banyak penggunanya, salah satunya Instagram.[1]

Elon Musk mengatakan “Orang-orang memposting foto bahagia mereka. Mereka mengedit foto tersebut supaya terlihat lebih keren, bahkan ketika foto tersebut tidak diedit paling tidak mereka memilih foto yang lighting dan angle-nya paling bagus sehingga orang terlihat lebih baik dari aslinya, lebih bahagia dari aslinya. Jadi saat kamu melihat orang-orang di Instagram , kamu mungkin berpikir, mereka adalah orang-orang yang good looking dan bahagia, dan kamu merasa aku tidak good looking dan aku tidak bahagia, aku merasa diriku buruk, dan itu akan membuatmu sedih. Padahal faktanya, orang-orang yang kamu lihat sangat bahagia, aslinya mereka tidak begitu bahagia, sebagian dari mereka bahkan sangat depresi. Beberapa orang yang terlihat bahagia, aslinya mereka adalah orang yang paling tidak bahagia”.

Kutipan di atas adalah fakta Medsos yang menjadi gejala sosial di kalangan penggunaannya. Itulah yang disebut dengan “kegilaan media” dan Elon Musk mengungkapkan akar permasalahannya. Lalu, apakah obat dan penawar dari semua itu?.

Sebelum mengetahui tentang definisi stoikisme, mari kita mencari tahu terlebih dahulu tentang sejarah dan asal muasal ajaran stoikisme ini. Stoikisme sendiri muncul di Athena, Yunani pada awal abad ke 3 sebelum masehi. Lalu, siapa yang melahirkan ajaran ini? Ajaran ini dilahirkan oleh filsuf stoik Yunani saat itu yakni Zeno dan Citium. Stoikisme sendiri berasal dari kata “stoikos” yang artinya “dari beranda/teras” karena pada saat itu, filsuf stoik memberikan kuliah tentang stoikisme kapada para pengikut ajaran stoikisme di tangga Agora, Athena.

Setelah kita mengetahui tentang sejarah filsafat stoikisme, kita patut tahu tentang apa, sih itu stoikisme? Stoik, stoa, stoicism pada intinya adalah ajaran filsuf Yunani yang sudah lama ada yang berfokus pada pengajaran kepada manusia untuk mencari kebahagiaan yang nyata dengan cara mengendalikan apa saja yang bisa kita kendalikan. Karena menurut teori ini, kebahagian itu bersumber dari hal-hal yang bisa kita kendalikan dan menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Dengan kita berfokus kepada hal-hal yang bisa kita kendalikan, maka hidup terasa lebih bermakna, lebih produktif, dapat mengerjakan sesuatu dengan maksimal sehingga muncul rasa kepuasan dan kebahagiaan nyata.

Lalu, bagaimana penerapan filsafat stoikisme? Kita ambil contoh di kehidupan sehari-hari. Misalnya, kamu sedang mengerjakan ujian tulis komputer. Kamu telah mengerjakan dengan sungguh-sungguh karena kamu sudah belajar keras semalam. Namun tiba-tiba ada pemadaman bergilir. Pada umumnya, orang akan merasa marah karena hal tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka mau. Tetapi jika kamu sadar bahwa pemadaman listrik bergilir adalah hal yang berada di luar kendali kamu, maka kamu tidak akan marah dan merasa marah hanyalah membuang waku dan tenaga.

Meskipun stoikisme termasuk filsafat kuno, namun ternyata ajaran stoikisme tak lekang oleh waktu karena pada dasarnya semua manusia hidup untuk mencari kebahagiaan, untuk mencari ketenangan. Di dalam filosofi stoicism, semua hal yang terjadi dalam hidup manusia itu bersifat netral. Tak ada yang positif atau negatif, tak ada hal buruk atau baik. Hal yang bisa menjadikan hal-hal tersebut menjadi positif atau negatif, baik atau buruk adalah interpretasi kita terhadap hal itu.

Tak terkecuali di era sosial media yang sudah seperti dunia kedua bagi manusia di seluruh penjuru dunia. Ajaran stoikisme memiliki manfaatnya sendiri seperti, kita jadi memiliki kesadaran bahwa kita tidak bisa mengendalikan pendapat orang lain dalam suatu kolom komentar di postingan yang kita buat. Jadi, kita memiliki pilihan untuk mengendalikan hal itu dengan menonaktifkan kolom komentar, atau sama sekali tidak membaca komentar demi kewarasan diri sendiri. Selain itu, interpretasi tentang media sosial adalah murni interpretasi kita sendiri. Jika ditinjau dari stoik, media sosial adalah hal yang netral. Dapat merupakan hal yang positif atau hal yang negatif adalah penilaian dari diri kita sendiri. Pilihan ada di tangan setiap individu untuk mengendalikan sosial media yang sangat heterogen untuk menjadi sepenuhnya positif, atau sepenuhnya negatif tergantung dari bagaimana individu tersebut mengendalikannya demi kebahagiaan dan ketenangan yang didamba.

 

 



[1] Joe Rogan Clips. (2018). Joe Rogan Podcast - Elon Musk on Instagram [YouTube Video]. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=T-91z9h7y54&t=11s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejumlah Anggota DPR RI, DPRD, dan Kepala Daerah Memborong Buku Colliding Stars, Novel Fenomenal Anak Indonesia

Diterimanya Novel  Colliding Stars  oleh Utut Adianto (Anggota DPR RI 2019-2024 Fraksi PDIP) Diterimanya Novel Colliding Stars oleh Tommy K...