Oleh:
Aulia Aisyah Mustain (Mahasiswi Universitas Negeri Malang, Jurusan Psikologi).
Dafiq Febriali Sahl.
Patung dada Zeno dari Citium koleksi Farnese, Naples. Foto oleh Paolo Monti, 1969. |
Pada era modern yang teramat dinamis
ini, semua bisa berkembang atau lenyap dengan cepat. Media sosial (Medsos) yang
menjadi raksasa informasi memberikan ruang terbuka bagi siapapun untuk
mengekspresikan diri. Setiap orang memiliki panggungnya; dan setiap orang
berhak untuk ditonton dan diapresiasi. Itulah awal dari yang disebut distraksi
sosial dan distopia mental.
Sebagian besar pengguna Medsos
mengizinkan orang lain untuk melihat kehidupannya melalui postingan-postingan
di dalamnya. Dalam kondisi seperti itu, hal-hal baik dari kehidupan seseorang
akan menjadi tema kompetisi yang absurd. Hal-hal tidak baik atau buruk akan
disembunyikan dari citra diri di Medsos. Kemudian, itu seringkali menjadi
kehidupan belah bambu dimana hal-hal baik menjadi pencitraan dan hal-hal tidak
baik menjadi ujuran kebencian untuk menjatuhkan seseorang. Kebenaran menjadi
terdistraksi, kemudian bercampur dengan ketidakbenaran, kepentingan,
kebohongan, dan sejenisnya.
Secara singkat, dampak yang ditimbulkan
pada diri sendiri adalah ketidaktenangan, konflik batin, keterasingan sosial,
kesepian, ekspetasi berlebihan (irasionalitas), berubahnya pola pikir, dan
terkadang menghalalkan segala cara untuk hal-hal yang tidak kita butuhkan atau
bahkan merugikan. Pada intinya, orang akan gagal untuk membedakan mana
kebutuhan dan keinginan, mana ekspetasi dan realitas, mana kendali kita dan
bukan, atau mana yang baik dan buruk. Akhirnya, Medsos dengan segala isinya
bisa menciptakan keinginan-keinginan baru, ketidakpuasan, ekspetasi-ekspetasi,
dan pengakuan-pengakuan yang membebani mental seseorang dan merusak tatanan
sosial kemasyarakatan; itulah yang dinamakan lingkaran tak berujung atau
perlombaan setan.
Semua permasalahan kompleks di atas
telah menjamur dan menjadi rahasia umum dari pengguna Medsos, mungkin juga
termasuk pembaca artikel ini. Ingat kata Bu Tejo, “Jadi orang itu yang solutif”
maka lebih utama 1 solusi sederhana daripada 10 pembahasan masalah. Lalu apa
kaitannya dengan Elon Musk dan Stoikisme?.
Elon Musk adalah seorang pengusaha
sukses dan ilmuan cerdas di abad ke-21 ini. Dia menguasai media besar seperti Twitter.
Tapi, dalam satu kesempatan, di Joe Rogan Podcast yang diupload di Channel
Youtube Joe Rogan Clips pada 8 September 2018, Elon Musk mengutarakan fakta
Medsos yang relevan dengan kondisi batin banyak penggunanya, salah satunya Instagram.[1]
Elon Musk mengatakan “Orang-orang
memposting foto bahagia mereka. Mereka mengedit foto tersebut supaya terlihat
lebih keren, bahkan ketika foto tersebut tidak diedit paling tidak mereka
memilih foto yang lighting dan angle-nya paling bagus sehingga orang
terlihat lebih baik dari aslinya, lebih bahagia dari aslinya. Jadi saat kamu
melihat orang-orang di Instagram , kamu mungkin berpikir, mereka adalah orang-orang
yang good looking dan bahagia, dan kamu merasa aku tidak good looking
dan aku tidak bahagia, aku merasa diriku buruk, dan itu akan membuatmu sedih.
Padahal faktanya, orang-orang yang kamu lihat sangat bahagia, aslinya mereka tidak
begitu bahagia, sebagian dari mereka bahkan sangat depresi. Beberapa orang yang
terlihat bahagia, aslinya mereka adalah orang yang paling tidak bahagia”.
Kutipan di atas adalah fakta Medsos
yang menjadi gejala sosial di kalangan penggunaannya. Itulah yang disebut
dengan “kegilaan media” dan Elon Musk mengungkapkan akar permasalahannya. Lalu,
apakah obat dan penawar dari semua itu?.
Sebelum mengetahui tentang definisi
stoikisme, mari kita mencari tahu terlebih dahulu tentang sejarah dan asal
muasal ajaran stoikisme ini. Stoikisme sendiri muncul di Athena, Yunani pada
awal abad ke 3 sebelum masehi. Lalu, siapa yang melahirkan ajaran ini? Ajaran
ini dilahirkan oleh filsuf stoik Yunani saat itu yakni Zeno dan Citium.
Stoikisme sendiri berasal dari kata “stoikos” yang artinya “dari beranda/teras”
karena pada saat itu, filsuf stoik memberikan kuliah tentang stoikisme kapada
para pengikut ajaran stoikisme di tangga Agora, Athena.
Setelah kita mengetahui tentang
sejarah filsafat stoikisme, kita patut tahu tentang apa, sih itu stoikisme? Stoik, stoa,
stoicism pada intinya adalah ajaran
filsuf Yunani yang sudah lama ada yang berfokus pada pengajaran kepada manusia
untuk mencari kebahagiaan yang nyata dengan cara mengendalikan apa saja yang
bisa kita kendalikan. Karena menurut teori ini, kebahagian itu bersumber dari
hal-hal yang bisa kita kendalikan dan menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak
bisa kita kendalikan. Dengan kita berfokus kepada hal-hal yang bisa kita
kendalikan, maka hidup terasa lebih bermakna, lebih produktif, dapat
mengerjakan sesuatu dengan maksimal sehingga muncul rasa kepuasan dan
kebahagiaan nyata.
Lalu, bagaimana penerapan filsafat
stoikisme? Kita ambil contoh di kehidupan sehari-hari. Misalnya, kamu sedang
mengerjakan ujian tulis komputer. Kamu telah mengerjakan dengan sungguh-sungguh
karena kamu sudah belajar keras semalam. Namun tiba-tiba ada pemadaman
bergilir. Pada umumnya, orang akan merasa marah karena hal tidak berjalan
sesuai dengan apa yang mereka mau. Tetapi jika kamu sadar bahwa pemadaman
listrik bergilir adalah hal yang berada di luar kendali kamu, maka kamu tidak
akan marah dan merasa marah hanyalah membuang waku dan tenaga.
Meskipun stoikisme termasuk filsafat
kuno, namun ternyata ajaran stoikisme tak lekang oleh waktu karena pada dasarnya
semua manusia hidup untuk mencari kebahagiaan, untuk mencari ketenangan. Di
dalam filosofi stoicism, semua hal
yang terjadi dalam hidup manusia itu bersifat netral. Tak ada yang positif atau
negatif, tak ada hal buruk atau baik. Hal yang bisa menjadikan hal-hal tersebut
menjadi positif atau negatif, baik atau buruk adalah interpretasi kita terhadap
hal itu.
Tak terkecuali di era sosial media
yang sudah seperti dunia kedua bagi manusia di seluruh penjuru dunia. Ajaran
stoikisme memiliki manfaatnya sendiri seperti, kita jadi memiliki kesadaran
bahwa kita tidak bisa mengendalikan pendapat orang lain dalam suatu kolom
komentar di postingan yang kita buat. Jadi, kita memiliki pilihan untuk
mengendalikan hal itu dengan menonaktifkan kolom komentar, atau sama sekali
tidak membaca komentar demi kewarasan diri sendiri. Selain itu, interpretasi
tentang media sosial adalah murni interpretasi kita sendiri. Jika ditinjau dari
stoik, media sosial adalah hal yang netral. Dapat merupakan hal yang positif
atau hal yang negatif adalah penilaian dari diri kita sendiri. Pilihan ada di
tangan setiap individu untuk mengendalikan sosial media yang sangat heterogen
untuk menjadi sepenuhnya positif, atau sepenuhnya negatif tergantung dari
bagaimana individu tersebut mengendalikannya demi kebahagiaan dan ketenangan
yang didamba.
[1]
Joe Rogan Clips. (2018). Joe Rogan Podcast - Elon
Musk on Instagram [YouTube Video]. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=T-91z9h7y54&t=11s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar