Translate

Kamis, 19 Mei 2022

Arek Gisek: Melestarikan Tradisi Bahari sebagai Manifestasi Karakter Gotong Royong di Pesisir Pasuruan dari Zaman ke Zaman

Oleh: Ferdian Subiyanto, Sarah Zeta Aulia, Dafiq Febriali Sahl

Juara 3 Lomba Karya Tulis Ilmiah Sejarah Nasional ODISEA Universitas Negeri Malang 2021 Tingkat SMA/SMK/MA sederajat.

Para nelayan sedang menggiring perahu jukung di Pesisir Pasuruan

(Sumber: Arsip Perpustakaan Kota Pasuruan)

Laut Nunsatara telah lama menjadi arena aktivitas bangsa-bangsa asing seperti Tiongkok, India, dan Arab baik dalam bentuk perebutan pengaruh atau kekuasaan,[1] salah satunya di Pantai Utara Jawa (Pantura). Sejak abad ke-9, Pasuruan berperan besar dalam perdagangan internasional dan gerbang utama bagi pengaruh-pengaruh asing yang sekuat tenaga berdialektika dengan kearifan lokal sehingga terbentuk tradisi-tradisi bahari pada masyarakat pesisir hingga saat ini (Leur, 1983; Houben, Maier, dan Molen, 1992).[2]

Secara genealogis, gerak dialektik sejarah antara pengaruh asing (Hindu-Buddha dan Islamisasi sejak abad ke-15) dengan kearifan lokal yang mencakup pola hidup, keyakinan, dan sosio-kultural masyarakat Pesisir Pasuruan membentuk tradisi bahari di Pesisir Pasuruan yakni Praonan dan Petik Laut yang diwariskan dengan cara gethok tular sampai kemudian berkembang menjadi tradisi bahari prestisius semenjak dibentuknya Kecamatan Panggungrejo oleh Pemerintah Kota Pasuruan pada tahun 2012.[3]

Topografi Pelabuhan Pasuruan dan kawasan Pesisir Pasuruan (Sumber: ANRI, Town Plane No.1297)

Dalam kajian historis-antropologis, selain membuktikan ketangguhan dan kema-juan masyarakat maritim, tradisi Petik Laut dan Praonan juga mencerminkan identitas nasional bangsa Indonesia yakni gotong royong. Prosesi pra ritual, ritual, pasca ritual, hingga upaya pelestarian Praonan dan Petik Laut telah melibatkan solidaritas sosial seluruh elemen masyarakat baik lokal maupun luar daerah yang memperkuat karakter gotong royong masyarakat (Wachid, 2021).

Perkembangan Praonan dan Petik Laut mengalami titik kritis pada abad ke-21 dimana hidup di tengah pusaran disrupsi berupa digitalisasi dan globalisasi (vernetzung) yang sifatnya ambivalen memungkinkan ekses yakni terkikisnya rantai tradisi-tradisi hingga hilangnya karakter gotong royong melalui perombakan tatanan sosial-budaya pada diri masyarakat dan pemuda di Pesisir Pasuruan.[4]

Petik Laut dan Praonan sebagai legacy dari sejarah maritim Nusantara penting untuk dikaji dan dilestarikan mengingat tradisi bahari kebanggaan Indonesia yang pernah berjaya sebelum kedatangan imperialis harus dibangkitkan lagi melalui regenerasi, [5] serta pelestarian tradisi bahari bagi masyarakat pesisir Pasuruan sangatlah krusial sebab pada dasarnya tradisi yang berkembang dalam masyarakat merupakan aset atau modal sosial guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sekaligus untuk menghadapi pengaruh budaya dari luar.[6]

Perahu layar sedang melaut di Pesisir Pasuruan (Sumber: Arsip Perpustakaan Kota Pasuruan)

Berdasarkan krusialitas di atas, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah dan perkembangan Praonan dan Petik Laut (abad 15-16) sebagai manifestasi karakter gotong royong serta mengidentifikasi peran arek gisek dalam melestarikan tradisi bahari tersebut di Pesisir Pasuruan pada tahun 2012-2020.

Pada masa Kesultanan Demak (Abad 15 dan 16), Demak berperan penting sebagai pos pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, Gujarat) sekaligus pusat Islamisasi di Jawa, sehingga Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali sanga (wali Sembilan) yang menyebarkan Islam di daerah-daerah pesisir (Pantura).[1] Pendekatan kultural-adaptif wali sanga dimana mengislamkan tanpa menghilangkan kearifan lokal yang sudah terbentuk seperti contoh slametan (tradisi syukuran Masyarakat Jawa) telah memperjelas bahwa Islamisasi tidak memutuskan relasi-relasi yang tegas dengan masa lalu di Jawa (sebagaimana kitab Salokantara).[2] Di sisi lain, Islamisasi tidak lepas dari transformasi sosio-kultural masyarakat dari alam Hindu-Buddha menuju alam Islam bersama Demak sebagai poros Islamisasi di Jawa pada abad ke-16 (Prajarto, 2004, h. 130).

Perkembangan Islamisasi oleh wali sanga melalui jaringan maritim Demak di Pantura berhasil melahirkan berbagai produk akulturasi antara identitas masyarakat pesisir dengan identitas Islam, salah satunya adalah “kupatan” yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai simbolisasi riyaya (Hari Raya Ketupat) pada hari ketujuh Idul Fitri (8 Syawal) yang mana ketupat pada masa Hindu-Buddha masih digunakan untuk ritual penghormatan Dewi Sri (dewi kekayaan dan kemakmuran), sesaji, jimat, atau penolak bala’ oleh masyarakat Jawa (Graaf, 1997; Akbar, 2010). Kulit ketupat yang tersusun rumit mencerminkan masyarakat Jawa yang kompleks, janur berfungsi untuk memanifestasikan identitas masyarakat pesisir yang subur akan pohon kelapa, sedangkan warna kuning pada janur dimaknai sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau (Timur Tengah) dan merah (Asia Timur).[3]

Muara Gembong Pasuruan (1920) (Sumber: Nanyo Toko Takauchi)

Sejak Pasuruan menjadi bagian dari Kesultanan Demak pada masa Sultan Trenggono (1527-1535), Pasuruan menerima pengaruh Islamisasi yang cukup besar bahkan berperan penting dalam Islamisasi di samping Gresik dan Tuban.[4] Dengan demikian, kupatan mengalami dialektika dengan kearifan lokal masyarakat Pesisir Pasuruan. Latar belakang sosio-kultural masyarakat Pesisir Pasuruan yang bekerja, berkebudayaan, dan berorientasi maritim mendorong pengemasan kupatan dengan corak kebaharian. Pada saat kupatan, rasa syukur dan bahagia atas nikmat berpuasa Ramadhan dan Idul Fitri beserta kemakmuran laut yang diberikan oleh Tuhan diekspresikan masyarakat Pesisir Pasuruan dengan cara menyambut dan mengajak para keluarga, kerabat, tetangga, dan tamu mereka untuk melaut menggunakan perahu-perahu tradisional yang telah menjadi sarana transportasi sejak masa prasejarah,[5] ekspresi riyaya (kebahagiaan) itu kemudian dikenal sebagai tradisi bahari Praonan.[6]


Praonan berasal dari Bahasa Jawa artinya “Naik Perahu” merupakan tradisi bahari khas Pesisir Pasuruan sebab dilahirkan dan dikembangkan masyarakat Pesisir Pasuruan sebagaimana di Kabupaten Pasuruan yakni Pantai Karang Hitam, Desa Semare, Desa Wates, Desa Kalirejo, Desa Jatirejo, dan Desa Tambak Lekok, sedangkan di Kota Pasuruan yaitu Pelabuhan Pasuruan dan Tambaan. Uniknya Praonan, masyarakat Pesisir Pasuruan contohnya di Mandaranrejo, Mayangan, dan Ngemplakrejo menyediakan aneka hidangan ketupat di ruang tamunya dalam rangka menjamu siapapun yang ingin bertamu di rumah mereka. Praonan selain unik juga menjadi momen bahagia bagi semua kalangan masyarakat Pasuruan secara turun temurun (Wachid, 2021).

Perkembangan corak perayaan Praonan dapat dikaitkan dengan kesenian masyarakat pesisir pada zaman Hindu-Buddha. Pasalnya, pada masa Hindu-Buddha telah dikenal berbagai jenis kapal yang dijadikan hiasan sebagai betuk kesenian maritim (Burhanuddin dkk, h. 173). Praonan pada implementasinya juga perwujudan hormat sekaligus bangga terhadap leluhur atau pendahulu masyarakat pesisir sebab bagi mereka, menangkap ikan dan berlaut dengan cara, alat, dan teknologi tradisional (jaring, perahu, pancing dan sebagainya) yang telah digunakan jauh sebelum kedatangan teknologi modern merupakan bentuk pendekatan dengan alam yang sekian lama mencukupi kebutuhan hidup nelayan (lihat lampiran VI).[7]

Sekitar awal abad ke-21, Praonan sudah diselenggarakan setiap tahun oleh masyarakat sebagai tradisi bahari di Pesisir Pasuruan. Berdirinya Kecamatan Panggungrejo (2012) telah mengintegrasikan dan mengangkat identitas sosial-budaya masyarakat Pesisir Kota Pasuruan yang sebelumnya sporadis dan tertinggal. Dengan demikian, Praonan yang dahulunya bersifat esklusif bagi etnis dan komunitas tertentu mulai diangkat dan dipromosikan menjadi tradisi bahari inklusif dalam wisata bahari oleh Pemerintah Kota Pasuruan. Oleh sebab itu, Praonan mulai naik daun sebagai tradisi bahari prestisius yang dilestarikan oleh seluruh elemen masyarakat di Pasuruan. Eksistensi Praonan bertahan karena mendatangkan kemaslahatan baik secara finansial (ekonomi), sosial (solidaritas dan persatuan), dan religi sebagaimana fungsi dari tradisi untuk masyarakat (Wachid, 2021; Aziz, 2019).

 

4.1.2    Praonan sebagai Manifestasi Karakter Gotong Royong

Masyarakat Pesisir Pasuruan mengenal pepatah Jawa: “Rumangsa melu anduweni, wajib melu angrungkepi” (merasa memiliki, wajib ikut menjaga). Dalam kajian etnografi di Pesisir Pasuruan oleh Fidia (2015), masyarakat Pesisir Pasuruan didominasi oleh Masyarakat Pendhalungan yang memiliki sosio-kultur berupa solidaritas sosial yang kuat, sistem kekerabatan yang erat, dan memiliki antusiasme tinggi terhadap religi (puritan),[8] sehingga mengandalkan kegiatan nyata berbasis masyarakat (gotong royong) dimana tokoh masyarakat dapat bekerjasama dengan penduduk, pemerintah, dan komunitas-komunitas untuk mengurus tradisi bahari Praonan.

Dalam merayakan Praonan, masyarakat Pesisir Pasuruan akan menghias dan melengkapi semua perahu tradisional yang ada terutama Perahu Layar dan Perahu Jukung dengan pengaman. Para partisipan Praonan umumnya berbekal ketupat untuk dimakan bersama (mayoran) saat melaut sambil menyaksikan hiu-hiu tutul yang biasa bermun-culan di sekitaran 6-7 Km dari Pesisir Pasuruan. Lamanya melaut sekitar 30-60 menit, dan setelah itu bergantian dengan yang lain, hal itu pun berlangsung dari pagi sampai sore hari (lihat lampiran VI). Demi meramaikan Praonan diadakan perlombaan seperti memancing ikan, skilot, karapan sapi, menghias perahu, drumband, pertunjukan musik tradisional, dan tarian daerah Pasuruan yaitu Tari Terbang Bandung. Orkesan (pagelaran musik), pesta kembang api, dan pagelaran tradisional lain menjadi pengiring berakhirnya Praonan selama satu hari penuh itu (Wachid, 2021).

Saat Praonan, masyarakat nelayan cuti; pemerintah dari RT sampai Kecamatan Panggungrejo bersama memobilisasi massa; Polisi Masyarakat dan Otoritas Syahbandar (KSOP) membantu penertiban dan pengamanan; para perempuan (ibu-ibu) juga bergotong royong memasak dan menyiapkan aneka hidangan utamanya ketupat di ruang tamu mereka; serta komunitas seniman dan budayan akan ikut mewarnai Praonan ini. Bahkan berlaku suatu sanksi sosial apabila terdapat Masyarakat Pesisir yang tidak ikut dalam membantu Praonan ini. Praonan merekatkan hubungan sosial masyarakat pesisir antara patron (orenga, pengamba’, juru mudi, tengkulak, dan lainnya) dengan klien (pandhiga dan buruh nelayan) dalam kerangka egaliter dan solidaritas sosial sebagai masyarakat pesisir. Dengan berpartisipasi dalam kegiatan ini, artinya telah membantu pendapatan para nelayan. Mereka senang karena mendapatkan penghasilan tambahan dan kita dapat menikmati keindahan pemandangan laut (simbiosis mutualisme).

 

4.1.3    Sejarah dan Perkembangan Tradisi Petik Laut di Pesisir Pasuruan (1500-2020)

Sejak zaman prasejarah, kemaritiman adalah aspek yang sangat vital dari perja-lanan sejarah bangsa Indonesia.[9]  Sebelum kedatangan bangsa barat, masyarakat pesisir Indonesia telah memiliki jiwa bahari berupa keyakinan dan pola hidup dimana laut meru-pakan sumber kelangsungan, pertumbuhan, dan kesejahteraan yang utama bagi kehidu-pan mereka.[10] Dengan kata lain, masyarakat pesisir percaya bahwa terdapat kekuatan dalam sumber daya laut yang secara supranatural (an sich) telah memberi kemakmuran sehingga masyarakat pesisir menghormati kekuatan laut melalui ritual-ritual untuk mensyukuri kemakmuran laut sekaligus berharap agar laut tetap memberikan kemak-muran di hari mendatang. Pola kepercayaan itu mengakar menjadi tradisi bahari seperti larung sesaji, sedekah laut atau populernya yaitu Petik Laut.

Menurut Setiawan (2016),[11] secara etimologi Petik laut artinya memetik, mengambil, memungut atau memperoleh hasil laut yang dapat menghidupi para nelayan atau lainnya. Secara terminologis Petik Laut adalah upacara adat atau ritual kosmologis sebagai rasa syukur kepada Tuhan, untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan yang dilakukan oleh para nelayan, nama lain Petik Laut adalah sedekah laut atau memberikan persembahan kepada laut (h. 235). Dalam memahami sejarah tradisi Petik Laut, penting untuk meneropong dahulu sejarah dan perkembangan tradisi Petik Laut yang lahir pada masyarakat Pesisir Muncar, Banyuwangi sebelum menuju Pesisir Pasuruan.

            Blambangan (Banyuwangi) merupakan kerajaan bercorak Hindu terakhir yang bertalian dengan kerajaan Majapahit sebelum ditaklukkan oleh Kesultanan Demak pada 1526-1527 (Graaf, 1952, h. 140-141; Abimanyu, 2017, h. 316). Tidak dapat dipungkiri, pengaruh Hindu-Buddha telah mengakar dalam konsep sosial budaya di Jawa. Tanda dan legacy esensial dari kerajaan Hindu-Buddha yang tidak dapat diragukan ialah penghorma-tan terhadap roh leluhur di Jawa. Berdasarkan kepercayaan kuno, penghormatan tersebut merupakan keharusan demi memelihara tata kosmis dimana ikatan-ikatan antara dimensi kehidupan-kematian diperkuat oleh upacara-upacara itu,[12] sampai periode Islamisasi yang dimulai dari kedatangan masyarakat Madura.

Masyarakat Madura yang mayoritas Islam dan berprofesi sebagai nelayan atau pelaut telah banyak mendiami Pesisir Muncar, Banyuwangi dalam kurun waktu yang lama dan terintegrasi dalam masyarakat lokal Pesisir Muncar. Periode itu seirama dengan Islamisasi oleh Sunan Giri yang memerintahkan muridnya yakni Sayyid Yusuf Al-Anggawi untuk menyebarkan Islam di Madura Timur termasuk Blambangan.[13]

Perlu digaris bawahi, pengaruh Islamisasi sangat kuat sebab para pembawa Islam mampu menyesuaikan nilai-nilai dan struktur masyarakat lama terhadap nilai-nilai baru baik di Jawa dan Madura.[14] Berdasarkan Babad Sumenep, suatu ketika saat Sayyid Yusuf berdakwah di Muncar, ikan-ikan di Muncar lenyap dan banyak nelayan yang meninggal saat melaut, oleh sebab itu Sayyid Yusuf menggerakkan masyarakat pesisir Muncar untuk melakukan sedekah laut (sesaji) salah satunya terdiri dari kepala kambing (kendit), sebab sesaji (persembahan) adalah cara penghormatan terhadap roh leluhur termasuk kekuatan laut yang telah lama mengakar. Hasilnya, bala’ (bencana) yang melanda pesisir Muncar menghilang. Sejak saat itu diadakan pelarungan sesaji di laut demi menghormati kekuatan laut khususnya kepada Nyi Roro Kidul oleh masyarakat Pesisir Muncar.[15]

Nyi Roro Kidul merupakan penguasa laut selatan sekaligus nenek moyang yang dianggap sebagai perwujudan Shang Hyang Iwak atau dewi laut yang dihormati oleh masyarakat pesisir Muncar dengan cara mengadaan ritual adat Jawa setiap 15 Suro atau 15 Muharram yang bernama upacara “Petik Laut”.[16]  Berdasarkan hal tersebut, Petik Laut dapat dikatakan sebagai tradisi bahari hasil dialektika dari Islamisasi (Sayyid Yusuf), Hindu-Buddha (penghormatan nenek moyang), dan kearifan lokal (Nyi Roro Kidul) di Pesisir Muncar, Banyuwangi (Setiawan, 2016; Santoso, 1991; Sumarto, 1996).  

Petik Laut terus mengalami perkembangan dalam sejarahnya. Pertama, Petik Laut sudah diselenggarakan oleh nelayan Muncar sejak tahun 1901 yang dipimpin oleh dukun,[17] ditinjau dari korelasi erat kearifan lokal masyarakat Pesisir Muncar dengan kepercayaan kuno yang telah dijelaskan sebelumnya dimana ketika Petik Laut tidak diadakan maka akan terjadi bala’ sehingga mereka percaya bahwa Petik Laut harus selalu diselenggarakan (Ibid., 2016).

Kedua, perkembangan Islam awal abad ke-20 mentransformasikan Petik laut menjadi bagian dari Islam partikultural yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kearifan lokal di Muncar, Banyuwangi.[18] Keterlibatan para kiai dan santri mewarnai pelaksanaan Petik Laut di Muncar dengan berbagai unsur Islam.[19] Hal itu dibuktikan dari peran para santri dalam kegiatan yasinan (membaca Surat Yasin) dan tahlilan (membaca tahlil) pada hari pertama dan khataman (pembacaan Al-Quran) pada hari kedua sebelum pelarungan sesaji (inti Petik Laut) pada hari ketiga. Terdapat juga sholawatan (membaca shalawat) bersama-sama saat pengiringan sesaji ke laut menaiki perahu gethek beserta perahu-perahu nelayan lain, sampai pembacaan doa-doa saat sesaji dilarung ke laut.

Masuknya unsur Islam dalam Petik Laut merupakan wujud kontemporer dari Petik Laut karena posisinya sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat Pesisir Muncar atas limpahan kemakmuran yang diberikan Tuhan melalui kekayaan dan kekuatan laut.[20] Lebih lanjut, tradisi Petik Laut menyebar pesat di pesisir di Jawa Timur dan Madura dan selanjutnya merupakan telaah genealogi Petik Laut di Pesisir Pasuruan.[21]

Dalam prespektif historis, masyarakat Pendhalungan (Jawa-Madura) diperkirakan sudah mendiami Pesisir Pasuruan sejak berabad-abad sebab Pantura tidak hanya berperan strategis dalam Islamisasi namun juga perdagangan internasional. Identitas masyarakat Pesisir Pasuruan yang tidak jauh beda dengan masyarakat Pesisir Muncar tentu berdam-pak pada kesamaan tradisi baharinya sehingga lahirlah Petik Laut di Pesisir Pasuruan. Petik laut sudah dilaksanakan sebelum tahun 1970 dan naik daun pada masa Pemerintahan Walikota Pasuruan H. Hasani S.H. (2010-2015); sebab masyarakat Madura telah diangkat tradisi dan kebudayaannya menjadi lebih produktif, prestisius, dan kompetitif dimana sebelumnya dipandang sebelah mata. Perayaan Petik Laut di Pesisir Pasuruan tidak kalah meriah dan sakral dibanding perayaan petik laut di daerah pesisir lainnya (Abdul, 2021; Wachid; 2021).

 

4.1.4    Petik Laut sebagai Manifestasi Karakter Gotong Royong

            Masyarakat Pesisir Pasuruan mengaitkan Petik Laut dengan kegiatan “bersih desa” yakni solidaritas sosial masyarakat untuk membersihkan desanya masing-masing. Sebelum Petik Laut, masyarakat pesisir juga khataman Al-Quran sebagai tradisi slametan di setiap Musholla atau Masjid masing-masing. Selain itu, dalam rangka merayakan Petik Laut, masyarakat juga mengadakan bari’an atau mayoran atau makan bersama sebagai wujud gotong royong masyarakat Pesisir Pasuruan.

            Tidak hanya Praonan, Petik laut juga menyimpan keunikannya tersendiri yakni masyarakat setempat menyembelih sapi sebagai rangkaian acara slametan desa kemudian kepala sapi tersebut dilarung di laut sebagai tanda penghormatan terhadap penjaga laut. Tradisi ini tentu membutuhkan bantuan dari banyak khalayak dalam pelaksanaannya. Masyarakat pesisir sangat bersimpati terhadap pengembangan tradisi ini. Karang Taruna sebagai organisasi muda juga turut bergerak dalam pelestarian Tradisi Petik Laut. Banyak ide dan rencana yang sudah dilakukan dan akan dilakukan oleh mereka. Misalnya dengan mengikuti lomba content creator melalui sosial media sebagai wadah pelestarian budaya setempat; maupun melakukan karnaval Petik Laut agar Petik Laut di Pesisir Pasuruan semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat Pasuruan dan juga luar Pasuruan. Tidak dilakukan seorang diri, Karang Taruna juga melakukan banyak kerjasama dengan komunitas pemuda lainnya di Pasuruan untuk meneruskan tradisi ini. Gotong royong sangat tercermin dari tindakan komunitas muda yang ada di pesisir Kota Pasuruan.

 

4.2       Peran Arek Gisek Melestarikan Tradisi Bahari di Pesisir Pasuruan (2012-2020)         

            Mayoritas tradisi masa sekarang termasuk Praonan dan Petik Laut telah melewati batas waktu dengan mengalami penyesuaian dengan perkembangan-perkembangan baru. Maknanya, bahwa suatu tradisi telah direvitalisasi dan berimprovisasi dari apa yang disebut kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi untuk memperkokoh identitas suatu kelompok sosial dan bertahan sebagai modern dan prestisius sekalipun tidak lagi otentik sebagaimana tradisi itu hidup dan dimaknai di masa lalu.[22]

Dalam rangka melindungi Praonan dan Petik laut dari disrupsi zaman dan penetrasi budaya-budaya asing diperlukan pembangunan mindset sebagai salah satu langkah. Oleh sebab itu, dilakukan identifikasi pemahaman arek gisek terhadap tradisi Praonan sebagai tradisi bahari tertua di Pesisir Pasuruan melalui angket online “Praonanku” yang diperoleh fakta antara lain: (1) tingginya pengetahuan arek gisek terhadap eksistensi Praonan, (2) rendahnya angka partisipasi arek gisek terhadap tradisi lokal Praonan, dan (3) tingginya keinginan arek gisek untuk melestarikan tradisi lokal Praonan (lihat lampiran II).

Pertama, 83,5% responden menyatakan mengetahui tradisi lokal Praonan, 16,5% responden tidak mengetahuinya, 80% responden menyatakan mengetahui bahwa Praonan merupakan tradisi lokal khas Pesisir Pasuruan. Data tersebut telah membuktikan bahwa arek gisek cukup memahami eksistensi tradisi lokal Praonan yang khas dari Pesisir Pasuruan. Artinya, terdapat kajian maritim atau pengalaman yang dimiliki oleh arek gisek hingga sampai pada pemahaman-pemahaman tersebut.

Kedua, 34,7% responden menyatakan pernah berpartisipasi langsung, 31,8% responden tidak pernah berpartisipasi, dan 33,5% responden hanya mengetahui. Rendahnya partisipasi langsung dari arek gisek dalam Praonan adalah realita bahwa Praonan masih dianggap monoton, membosankan, atau kurang kreativitas bagi arek gisek. Meskipun demikian, pada poin ketiga 65,3% responden menyatakan bahwa pelestarian Praonan “sangat perlu” dilakukan dan 34,1% responden yang menyatakan “perlu” dilakukan. Lebih dari itu, arek gisek juga berperan dalam memberikan sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif ditinjau dari jawaban atas pertanyaan: Sebagai generasi muda, bagaimana upaya anda melestarikan Praonan?.

Dalam melestarikan Praonan dan Petik Laut melalui kajian maritim, pranata sosial berfungsi dalam mengorganisir kepentingan dan kegiatan masyarakat;[23] serta berfungsi untuk pembangunan karakter gotong royong. Di Pesisir Pasuruan terdapat pranata sosial yang berbasis arek gisek diantaranya: Pramuka, Karang Taruna, dan Forum Anak. Karang Taruna Pantura Bangkit sebagai salah satu karang taruna di Pasuruan (tepatnya Daerah Ngemplakrejo) turut aktif membantu kelancaran tradisi ini bekerja sama dengan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Karang Taruna Pantura Bangkit memiliki program kerja jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, mereka membantu pelaksanaan bakti sosial, bagi-bagi sembako, dan lain-lain. Sedangkan jangka panjangnya, Karang Taruna memiliki “Rumah Kreatif”, dimana menjadi wadah untuk melatih skill anak-anak pesisir yang berfokus pada kerajinan tangan di samping kegiatan sekolah online mereka. Upaya Karang Taruna Pantura Bangkit dalam memperkenalkan budaya Pesisir Pasuruan dapat dilihat dari keikutsertaan mereka pada lomba-lomba dan berbagai kegiatan. Mereka memperkenalkan desa mereka dan kearifan lokal Pasuruan (Wachid, 2021; Abdul, 2021; Sholeh, 2021).

Dalam aspek sosial, arek gisek secara implisit memperkenalkan tradisi bahari ini kepada masyarakat melalui media-media yang mereka pegang; tujuannya tiada lain adalah memperkenalkan kekayaan budaya bahari mereka dan sekaligus mengonfigurasi-kan eksistensi komunitas arek gisek di mata masyarakat. Arek gisek membantu para nelayan untuk membuat galangan kapal, melaut atau mencari ikan, dan termasuk menyukseskan tradisi bahari ini. Arek gisek berperan sebagai paguyuban bagi tradisi bahari dan membuktikan bahwa Praonan dan Petik Laut bukanlah milik etnis Madura ataupun Jawa, namun milik bersama masyarakat Pasuruan. Dalam aspek ekonomi mereka juga tidak lepas tangan dari geliat ekonomi masyarakat pesisir baik yang terjun secara langsung maupun menjadi buffer (penyangga) (Wachid, 2021, Abdul, 2021)

Pasuruan yang dikenal sebagai daerah santri juga tidak lepas dari peran santri terutama santri gisek dalam melestarikan tradisi Praonan dan Petik Laut. Santri gisek mengambil bagian dalam ritual religi dalam tradisi bahari seperti pengajian, slametan, yasinan, dan banyak lagi. Tidaklah mengherankan, santri atau pemuda pesantren menurut Lombard (2005, h. 87) adalah pewaris dan penerus masyarakat pesisir yang telah menciptakan glory of the past pelabuhan-pelabuhan Pesisir dahulu. Fakta tersebut mampu membuktikan besarnya peran arek gisek yang berlatar belakang santri dalam melestarikan tradasi bahari di Pesisir Pasuruan.

Pada 5-6 Desember 2020, Dewan Kerja Ranting (DKR) Panggungrejo menga-dakan program “Kemah Bakti 2020” bertema “Pramuka sebagai Penggerak Literasi” di Kelurahan Tambaan, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan. Program ini fokus dalam revitalisasi aset-aset Kelurahan Tambaan sebagai salah satu tempat wisata bahari (Praonan dan Petik Laut); serta pengabdian kepada masyarakat dengan menggerakkan arek gisek dalam tubuh Pramuka Panggungrejo. Karang Taruna Bina Hang Tua, dan Karang Taruna Bangkit, tepatnya di Kelurahan Tambaan yang didirikan sebagai pranata sosial kepemudaan Pemerintah Kota Pasuruan (Sholeh, 2021).

Pada perayaan Praonan dan Petik Laut, tidak lepas pula arek gisek yang bergerak di bidang seni dan budaya. Sanggar Tari Dharma Budaya sebagai komunitas pemuda yang aktif di bidang tari menciptakan produk tari bagi tradisi bahari Petik Laut bernama Tari Larung Segoro yang mereka tampilkan pada saat perayaan Petik Laut. Tarian ini memiliki makna yang tersirat tentang rasa syukur kepada Tuhan yang melimpahkan kesejahteraan dari sektor maritim untuk manusia. Selain itu ada yang menampilkan Tari Terbang Bandung dan Tari Ngeremo Bollet Gagrak Suropati khas Jawa Timur khususnya Pasuruan dimana mengajarkan kepada pemuda betapa kayanya kemaritiman Indonesia baik tangible maupun intangible asset.

Kesimpulan

Petik laut dan Praonan merupakan buah dari pergumulan pengaruh dalam sejarah kemaritiman antara Islamisasi (Kesultanan Demak), Hindu-Buddha (Kerajaan Majapahit), dengan kearifan lokal masyarakat Pesisir Jawa yang masuk ke Pesisir Pasuruan. Tradisi bahari tersebut terus mengalami improvisasi dengan kondisi antropologi masyarakat pesisir masing-masing dan wajah perayaannya yang terus berkembang dengan tetap mempertahankan unsur tradisionalistis-religius. Nilai praksis dalam tubuh tradisi Praonan dan Petik Laut merupakan perwujudan karakter kegotongroyongan sebagai identitas nasional bangsa Indonesia.

Tradisi kemaritiman Praonan dan Petik Laut merefleksikan identitas Bangsa Indonesia yakni gotong royong. Implementasi dari nilai gotong royong itu sendiri dapat terealisasi dari segi aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dari awal persiapan acara hingga penutup. Oleh sebab itu, sebagai masyarakat lokal khususnya pemuda seperi arek gisek sudah selayaknya untuk melestarikan tradisi Praonan dan Petik Laut yang memuat nilai bangsa kita Indonesia. 

Peran arek gisek sebagai generasi penerus di sekitar wilayah Pesisir Pasuruan sangat krusial untuk menjaga kelestarian tradisi Petik Laut dan Praonan agar tidak terdiskontruksi globalisasi di masa depan; mengingat bahwa tradisi bahari ini merupakan tradisi khas masyarakat Pesisir Pasuruan. Melalui upaya pemerintah dan masyarakat sekitar terutama arek gisek untuk bergotong royong dalam tradisi bahari Petik Laut dan Praonan, maka dapat menjadi langkah utama dalam penjagaan eksistensi tradisi bahari ini. Arek gisek yang merupakan kunci dan penentu nasib tradisi Praonan dan Petik Laut di masa mendatang. 

 

Referensi

Abdul. (2021). “Eksistensi Tradisi Bahari Praonan Khas Pesisir Pasuruan”. Hasil wawancara pribadi: 2 Juli 2021, Kantor Kelurahan Mandaranrejo, Kota Pasuruan.

Abimanyu, Soedjipto. (2017). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Laksana.

Akbar, Jay. (2010). Mengunyah Sejarah Ketupat. Diperoleh dari historia.id: https://historia.id/politik/articles/mengunyah-sejarah-ketupat-Pdag6/page/1.

Aziz, Abdul. (2019). Tradisi Praonan di Pasuruan Jadi Magnet Ribuan Warga. Diperoleh dari faktualnews: https://faktualnews.co/2019/06/12/tradisi-praonan-di-pasuruan-jadi-magnet-ribuan-warga/144289/.   

Alimuddin, Muhammad Ridwan. (2005). Orang mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar mengarung gelombang perubahan jaman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Yayasan Adikarya.

Bowo Herdiyanto, Soebiarto, dan Duryatin Toyyibah. (2018). Citra Daerah Jawa Timur dalam Arsip Pasuruan. Surabaya: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur.

Burhanuddin, Safri dkk. (2003). Sejarah Maritim Indonesia: Menelusuri Jiwa bahari Bangsa Indonesia dalam proses integrasi bangsa. Jakarta: Badan Riset Perikanan dan Kelautan. Bagian SARI.

Dewantara, Agustinius W. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam Kacamata Soekarno). Yogyakarta: Kanisius.

Drake, C. (1989). National Integration in Indonesia: Patterns and Policies. Honolulu: University of Hawaii Press.

Faber, G.H. von. (1931). Oud Soerabaia: De Geschiedenis Van Indie’s Eerste Koopstad Van De Oudste Tijden Tot De Insteling Van De Gemeenteraad. Surabaya: Gemeente Surabaya.

Fajrie, Mahfudlah. (2017). Gaya Komunikasi Masyarakat Pesisir Wedung Jawa Tengah. Inject: Interdisciplinary Journal of Communication 2(1), 53-76.

Fidia, Nur. 2015. Keberadaan Madrasah dalam Masyarakat Madura Pendhalungan di Daerah Pesisir Pantai Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan (Studi Etnografi) (Skripsi, Universitas Negeri Malang, Malang). Diperoleh dari http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/Geografi/article/view/39884

Geertz, Clifford. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Giddens, Anthony. (2001). Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia.

Graaf, H. J. de. (1997). Muslim Cina Indonesia Sejarah Abad Ke-15 dan 16: Orang Cina di Indonesia (Alfajri Ismail, terj). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya..  

Gresik.info. (n.d.). Asal Mula Nama Kota Gresik yang Penuh Misteri. Diperoleh dari Gresik.info: https://www.gresik.info/asal-mula-nama-kota-gresik-yang-penuh-misteri.html

Handayani, Sri Ana. (2018). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jember: UPT Percetakaan dan Penerbitan Universitas Negeri Jember.

Houben, V. J. H., M. J. Maier, dan van der Molen. (1992). Looking in Odd Mirrors: The Java Sea. Leiden: Leiden University.

Ibrahim al-Geyoushi, Muhammad. (1971). Al-Tirmi’dhis: Theory of Saint and Sainthood. The Islamic Quarterly 1(1), 17-61.

Jonge, Huub De. (1989). Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan ekonomi, dan Islam, Suatu Studi Antroplogi Ekonomi. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.

Kusnadi. 2001. Masyarakat Tapal Kuda: Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik. Jurnal Ilmu-Ilmu Humaniora 2(2), 1-11.

Leur, J. C. Van. (1983). Indonesian Trade and Society: Essay in Asian Social and Economic History. Dordrecht: Foris Publication.

Lombard, Denys. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Martin, Risnowati. (2011). Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru, Malang: Sebuah Telaah Budaya Bahari. Jakarta: FIPB UI.

Milles, Matthew B., A. Huberman, dan Michael. (1992). Analisis Data Kualitatif (Tjetjep Rohendi Rohidi, terj), Jakarta: UI-Press.

Pelras, Christian. (2006). Manusia Bugis. Jakarta: École Française d’Éxtrême-Orient.

Peraturan Daerah Kota Pasuruan Nomor 15 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2012 Tentang pembentukan Kecamatan Kandang Sapi. 30 Juli 2012. Lembaran Daerah Kota Pasuruan Tahun 2012 Nomor 19.

Raffles, Thomas Stamford B. (1830). The History of Java (Vol. 1). London: John Murray.

Roder, Jozef. (1959). The rockpaintings of the Mac Cluer Bay (Western New Guinea). The Antiquity and Survival 1(5), 387-400.

Penulisan Sejarah Indonesia. (2008). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Pigeaud, Th. (1938). Javaanse volksvertoningen: bijdrage tot de beschriving van land en volk. Batavia: Volkslectuur.

Olivier Johannes Raap. (2015). Kota di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: KPG.

Rahardjo, Supratikno (eds). (2018). Warisan Budaya Maritim Nusantara. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Santoso, Budi. (1991). Kehidupan Masyarakat Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, Surabaya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Timur.

Setiawan, Eko. (2016). Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi. Universum 10(2), 229-237.

Sholeh, Mifthachul. (2021). Asek Gisek melestarikan Tradisi Bahari Pasuruan. Hasil wawancara pribadi: 21 Agustus 2021, Kantor Kelurahan Ngemplakrejo, Kota Pasuruan

Sjamsudduha dkk. (1998). Sejarah Sunan Drajat dalam Jaringan Masuknya Islam di Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu

Sukarno. (1984). Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta: Inti Idayu Press.

Sulaiman, A. Sadirk. (2006). Sangkolan: Legenda ban Sajara Madhura. Pamekasan: Pemerintah Kabupaten Pamekasan.

Sumarto, Hendro. (1996). Upacara Adat Larung Sesaji: Studi Kasus di Komunitas Nelayan Puger Jember. Jember: Prisma.

Untara, S., A. Widyawan., A. J. A. Susanti., dan D. Hendrawan (eds). (2016). “Membentuk Identitas Indonesia dalam Arus Globalisasi”. Prosiding Simposium Nasional V. Surabaya: Universitas Katolik Surabaya.

Utomo, Bambang B. (2016). Warisan Bahari Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Vlekke, Bernard H. M. (2008). Nusantara: A History of Indonesia (Samsudin Berlian, terj). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Wachid. (2021). “Eksistensi Tradisi Bahari Petik Laut Khas Pesisir Pasuruan”. Hasil wawancara pribadi: 20 Agustus 2021, Kantor Kelurahan Ngemplakrejo, Kota Pasuruan.

Wasino dan Endah Sri Hartatik. (2018). Metode Penelitian Sejarah: Dari Riset hingga Penulisan. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama. 



[1]Islamisasi melalui saluran perdagangan (Demak) dipercepat oleh situasi politik beberapa kerajaan dimana adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diri dari kerajaan yang mengalami kekacauan (Majapahit), lihat: Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. (2008). Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. h. 169. Wali sanga sebagai golongan pembawa Islam di pesisir, lihat: Muhammad Ibrahim al-Geyoushi. (1971). Al-Tirmi’dhis: Theory of Saint and Sainthood. The Islamic Quarterly 1(1), 17-61.

[2]Lihat: Bernard H. M. Vlekke. (2008). Nusantara: A History of Indonesia (Samsudin Berlian, terj). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. h. 96-97. Lihat pula: Th. Pigeaud. (1938). Javaanse volksvertoningen: bijdrage tot de beschriving van land en volk. Batavia: Volkslectuur.

[3]Pemaknaan ketupat menurut H. J. de Graaf dikutip dari Jay Akbar. (2010). Mengunyah Sejarah Ketupat. Diperoleh dari historia.id: https://histo-ria.id/politik/articles/mengunyah-sejarah-ketupat-Pdag6/page/1.

[4]Bowo Herdiyanto, Soebiarto, dan Duryatin Toyyibah. (2018). Citra Daerah Jawa Timur dalam Arsip Pasuruan. Surabaya: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur. h. 3. Pada pertengahan abad ke-16, Islam merupakan agama utama di Pasuruan. (Abimanyu, 2017, h. 494).

[5]Lukisan-lukisan berupa gambar-gambar perahu di dinding-dinding gua prasejarah di Indonesia membuktikan bahwa perahu sudah menjadi alat transportasi sejak masa prasejarah. (Roder 1959) dikutip dari Supratikno Rahardjo (eds). Op.cit. h. 333.

[6]Abdul Wachid. (2021). “Eksistensi Tradisi Bahari Praonan Khas Pesisir Pasuruan”. Hasil Wawancara Pribadi: 2 Juli 2021, Kantor Kelurahan Mandaranrejo, Kota Pasuruan.

[7]Tinjauan aktivitas bahari masyarakat pesisir dalam Mahfudlah Fajrie. (2017). Gaya Komunikasi Masya-rakat Pesisir Wedung Jawa Tengah. Inject: Interdisciplinary Journal of Communication 2(1), 53-76.

[8]Masyarakat Pendhalungan merupakan masyarakat atau komunitas lokal yang memiliki kebudayaan Jawa-Madura yang bersifat ekspresif dan solid, dalam persebarannya telah mendominasi kawasan Pantai Utara Jawa terutama Tapal Kuda termasuk Pesisir Pasuruan (Kusnadi, 2001).

[9]Lihat: C. Drake. (1989). National Integration in Indonesia: Patterns and Policies. Honolulu: University of Hawaii Press. h. 6., Clifford Geertz. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. h. 42., dan Risnowati Martin. (2011). Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru, Malang: Sebuah Telaah Budaya Bahari. Jakarta: FIPB UI. h. 12.

[10]Eko Setiawan. (2016). Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut di Muncar Banyuwangi. Universum 10(2), 229-237. Diperkuat dalam Supratikno Rahardjo. Op.cit. h. 249.

[11]Eko Setiawan adalah peneliti masalah sosial dan sosiolog Universitas Brawijaya, Malang.

[12]Sri Ana Handayani. (2018). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jember: UPT Percetakaan dan Penerbitan Universitas Negeri Jember. h. 77 dan Th. Pigeaud. Loc.cit.

[13]A. Sadirk Sulaiman. (2006). Sangkolan: Legenda ban Sajara Madhura. Pamekasan: Pemerintah Kabu-paten Pamekasan. h. 67. Lihat juga: Huub De Jonge. (1989). Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan ekonomi, dan Islam, Suatu Studi Antroplogi Ekonomi. Jakarta: Gramedia. h. 40.

[14]Sri Ana Handayani. Op.cit. h. 143.

[15]Strategi dakwah Sunan Ampel dan Sunan Giri di Madura salah satunya adalah menyatukan Islam dengan tradisi yang telah ada (Muchtarom, 2002, h. 48). Kendit berasal dari Bahasa Jawa yang maknanya sabuk. Yang merujuk kepada kambing kendit yang mempunyai bulu putih melingkar dari perut sampai punggung. Persembahan sapi kendit sebagai salah satu isi sesaji Petik Laut merupakan warisan dari Sayyid Yusuf, lihat: Eko Setiawan. Op.cit. h. 232.

[16]Kepercayaan adanya Nyi Roro Kidul adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat Pesisir Muncar.

[17]Hendro Sumarto. (1996). Upacara Adat Larung Sesaji: Studi Kasus di Komunitas Nelayan Puger Jember. Jember: Prisma. h. 11.

[18]Komparasi dengan tradisi dialog yang menciptakan keakuran dalam Sri Ana Handayani. Op.cit. h. 145.

[19]Petik laut yang awalnya terpengaruh kuat oleh kepercayaan kuno, anismisme, dan dinamisme mengalami beberapa transformasi menjadi tradisi bahari yang bercorak Islam Partikultural (Islam yang menyesuaikan dengan kearifan lokal) lihat Budi Santoso. (1991). Kehidupan Masyarakat Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur, Surabaya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Timur. h. 57.

[20]Proses Islamisasi oleh Sayyid Yusuf hingga perkembangan Islamisasi oleh kiai dan santri yang pesat (abad ke-20) di Muncar membuat Petik Laut diterima sebagai tradisi bahari yang bercorak Islam di daerah-daerah pesisir. Eko Setiawan. Op.cit. h. 233-234.

[21]Petik Laut (Pasuruan, Banyuwangi, Malang, dan lainnya), rokatan (Madura), Tutup Layang (Lamongan).

[22]Tinjauan tradisi di masa sekarang dalam Anthony Giddens. (2001). Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. Jakarta: Gramedia. h. 34.

[23]Kegiatan atau program yang diselenggarakan arek gisek melalui pranata sosial merupakan suatu bentuk kajian maritim secara langsung melalui sosialisasi dan interaksi asosiatif.



[1] Lihat: Supratikno Rahardjo (eds). (2018). Warisan Budaya Maritim Nusantara. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. h. 321.

[2] Bandingkan dengan Sjamsudduha dkk. (1998). Sejarah Sunan Drajat dalam Jaringan Masuknya Islam di Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu. h. 49-54.

[3] Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pasuruan Nomor 15 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2012 Tentang pembentukan Kecamatan Kandang Sapi. 30 Juli 2012. Lembaran Daerah Kota Pasuruan Tahun 2012 Nomor 19 oleh Pemerintah Kota Pasuruan.

[4] Gejala disruptif ditinjau dari Simon Untara, A. Widyawan., A. J. A. Susanti., dan D. Hendrawan (eds). (2016). “Membentuk Identitas Indonesia dalam Arus Globalisasi”. Prosiding Simposium Nasional V. Surabaya: Fakultas Filsafat Widya Mandala Universitas Katolik Surabaya. h. 36.

[5] Disimpulkan dari Bambang Budi Utomo. (2016). Warisan Bahari Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

[6] Supratikno Rahardjo (eds). Op.cit. h. 323. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejumlah Anggota DPR RI, DPRD, dan Kepala Daerah Memborong Buku Colliding Stars, Novel Fenomenal Anak Indonesia

Diterimanya Novel  Colliding Stars  oleh Utut Adianto (Anggota DPR RI 2019-2024 Fraksi PDIP) Diterimanya Novel Colliding Stars oleh Tommy K...