Translate

Jumat, 20 Mei 2022

ALAM DAN ANAK INDONESIA, HARMONISASI SEMESTA

Oleh: Dafiq Febriali Sahl

Kedekatan Anak Indonesia dengan alamnya (Foto oleh Penulis)

Cinta kepada alam artinya cinta kepada keindahan dan kebijaksanaan karena eksistensi alam adalah sumber dari keluruhan, keharmonisan, dan keindahan, di Yunani itu dikenal dengan philia atau cinta pada kebijaksanaan. Manusia adalah bagian khusus dari alam, bukan sebaliknya. Aksioma ini akan merubah pola pikir kita sebagai manusia tentang alam, bahwa manusialah yang bergantung pada eksistensi alam, bukan sebaliknya. Alam jauh lebih berkuasa dari manusia, kehendaknya melampaui kehendak manusia; seringkali kehendak alam menjadi petaka bagi manusia yang berkehendak merusaknya. Tapi, jika manusia menghendaki kasih dan sayang kepada alam, maka alam akan membalas lebih dari yang dikehendaki manusia. Itulah yang dinamakan algoritma kehendak antara alam dan manusia. Tapi bukan kesadaran moral yang demikian yang harus pahami, melainkan "alam adalah kita", kemudian dikenal dengan konsep the extended self.

Manusia harus memahami alam sebagai bagian dari dirinya, harus ada semacam pembauran antara alam dan manusia. 

Anak Indonesia adalah salah satu representasi dari kecintaan kepada alam. Mereka hidup di negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya raya di bumi ini. Keseharian dalam hidup mereka tidak lepas dari alam. Bukan hanya anak desa, anak kota yang memiliki kesadaran ekofeminisme juga turut terjun langsung di alam. Kita dapat melihat anak desa yang bermain lumpur di sawah, berenang di sungai, mencari ikan, bermain layang-layang, memancing belut, dan bermain di alam lepas. Tanpa disadari, hal sepele itu membangun memori luar biasa pada anak tentang alam yang menyatu dengan kehidupan. Anak kota pun demikian, tak jarang kita jumpai komunitas pecinta lingkungan di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan kota-kota besar lainnya.

Asal-usul patriarkisme pada alam disebabkan adanya demarkasi antara kehidupan sosial, biologis, dan alam. Kedekatan dengan alam akan menyadarkan anak bahwa sandang, pangan, dan papan yang dibutuhkannya disediakan oleh alam. Tubuh biologis manusia juga diciptakan dari tanah yang merupakan unsur fundamental bumi; begitu juga tubuh itu kembali ke bumi. Sumber pangan pokok seperti 4 sehat, 5 sempurna juga berasal dari bumi. Papan juga berasal dari bumi yang kemudian ditancapkan ke dalam bumi. Tidak ada demarkasi sedikitpun antara anatomi biologis manusia dengan alam.

Kehidupan sosial juga sama. Orang-orang kota merasa hidup mereka tidak bersentuhan langsung dengan alam sehingga tanggung-jawab merawat alam diletakkan pada manusia yang bersentuhan langsung dengan alam; bukan hanya tanggung-jawab tapi juga dampak buruk dari perusakan alam oleh orang-orang kota melalui konsumerisme, eksploitasi, kebijakan yang gagal, dan kehidupan yang tidak ramah lingkungan. Justru, orang kota lah yang bersentuhan langsung dengan alam namun dalam wajah yang berbeda, seperti banjir akibat kurangnya daerah resapan, tanah ambruk karena proyek, tanah turun karena sedikitnya air tanah, polusi akibat kehidupan konsumtif, atau bencana-bencana lain akibat ulahnya sendiri. Fenomena itu adalah luapan amarah alam, analoginya seperti manusia sebagai bayi yang dilahirkan dan dirawat oleh ibunya (alam).

Sebenarnya, manusia sekarang sudah menjadi korban dari keganasannya sendiri. Meskipun alam sudah memberikan peringatan melalui krisis, wabah, dan bencana, namun sepertinya manusia belum sepenuhnya sadar akan pentingnya memulihkan alam. Eksploitasi terus berlanjut, limbah masih mengalir, udara masih penuh asap-asap karbon dioksida (emisi), hutan-hutan masih dideforestisasi, sungai masih mengalirkan sampah, dan lain sebagainya. Tidak perlu jauh-jauh membahas negara lain, Indonesia saja belum sepenuhnya bisa bangkit dari keterpurukan alam akibat tangannya sendiri.

Siapa korban selanjutnya?. Ialah anak Indonesia. Pemandangan yang kita lihat sebagai harmonisasi semesta akan menjadi distopia semesta. Mungkin, jika ini masih terjadi, anak Indonesia tak lagi bisa ke sawah dan bermain sebab sawah sudah berubah menjadi beton, anak-anak lebih mudah terserang penyakit karena bahan kimia yang membanjiri makanan, hilangnya solidaritas sosial berubah menjadi individualisme, tidak ada lagi tempat wisata yang indah, atau tutupnya kebun binatang akibat punahnya spesies hewan dan tumbuhan.

Fakta-fakta di atas bukanlah metafor yang didramatisir, melainkan pesimistis tentang eksistensi alam di masa depan. Sejauh alam ada, sejauh itulah manusia hidup. Indonesia yang menyimpan kekayaan luar biasa bukan berarti dieksploitasi secara luar biasa, melainkan sebagai sinyal tanggung-jawab besar untuk mengelolanya dengan baik. "Keberlanjutan" yang dibangun oleh pemimpin-pemimpin dunia harus menjadi aksi bukan retorika lagi. Pengetahuan korelasi ekonomi-ekologi harus dikuasai para pemangku kebijakan; kesadaran ekofeminisme harus tumbuh bersama masyarakat; kedekatan anak dengan alam harus dibangun; eksploitasi alam para pengusaha harus dikurangi; dan modal-modal harus memprioritaskan kesehatan alam. Munculkan pendidikan dan gerakan lingkungan untuk merawat alam, serta pangkas kebijakan yang tidak memihak pada alam. Ini bukan tugas aktivis lingkungan, ini tugas kita semua!.

Cinta kepada alam adalah cinta yang universal baik penerapan dan tanggung-jawabnya. Jika cinta itu hadir di hati anak-anak kita maka mereka mendapatkan apa yang disebut harmonisasi semesta. Lawan dari harmonisasi semesta bersumber dari ketamakan dan kebodohan manusia, dengan demikian jika seseorang tidak mencintai alam maka memungkinkan ia menganggap alam sebagai objek kehidupan dan menumbuhkan sifat rakus di hatinya.

Banyak hal yang bisa dilakukan manusia untuk merawat alam, sama seperti cara alam merawat manusia. Untuk siapa? Untuk anak-cucu kita semua!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejumlah Anggota DPR RI, DPRD, dan Kepala Daerah Memborong Buku Colliding Stars, Novel Fenomenal Anak Indonesia

Diterimanya Novel  Colliding Stars  oleh Utut Adianto (Anggota DPR RI 2019-2024 Fraksi PDIP) Diterimanya Novel Colliding Stars oleh Tommy K...